Minggu, 5 Oktober 2025

Pemilu 2024

SBY Sebut Pemilu Bisa Chaos, Megawati: Maunya Apa?

Megawati Soekarnoputri mengkritisi pernyataan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengingatkan Pemilu 2024 chaos.

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Hasanudin Aco
Kolase/Tribun Jakarta
Foto dok./ SBY dan Megawati 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengkritisi pernyataan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengingatkan Pemilu 2024 bisa chaos.

Megawati menilai pernyataan Pemilu 2024 akan chaos adalah aneh.

Sebab dalam beberapa Pemilu sebelumnya tidak pernah terjadi chaos.

"Ada komen-komen yang menurut saya aneh. Yaitu sepertinya akan kalau ndak begini bisa terjadi chaos," kata Megawati di markas PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Jumat (2/6/2023).

Karenanya, dia mempertanyakan pernyataan SBY yang mengingatkan adanya chaos di Pemilu 2024.

"Jadi kalau ada yang sampai mengatakan seperti itu, buat saya big question, maunya apa?" ujar Megawati.

Baca juga: SBY Ingatkan Risiko Chaos Politik Jika MK Paksakan Ubah Pemilu Terbuka Jadi Tertutup

Megawati menjelaskan Pemilu yang berlangsung di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1955 dan belum ada chaos.

"Jadi bukan barang baru," ungkapnya.

SBY sebelumnya mengingatkan akan terjadinya chaos politik apabila Mahkamah Konstitusi atau MK memutuskan Pemilu Legislatif 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.

Hal itu menanggapi pernyataan Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengaku mendapat informasi bahwa nantinya MK memutuskan Pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup.

SBY menanyakan kepada MK urgensi sehingga sistem Pemilu diganti ketika proses Pemilu sudah dimulai.

"Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kepada KPU. Pergantian sistem Pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan “chaos” politik," kata SBY dalam cuitannya di Twitter, dikutip pada Senin.

Menurutnya, apabila MK memutuskan Pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup tentu akan menjadi isu besar dalam dunia politik di tanah air.

"Pertanyaan kedua kepada MK, benarkah UU Sistem Pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi? Sesuai konstitusi, domain dan wewenang MK adalah menilai apakah sebuah UU bertentangan dgn konstitusi dan bukan menetapkan UU mana yang paling tepat sistem Pemilu tertutup atau terbuka?" tanya SBY.

SBY menjelaskan kalau MK tidak memiliki argumentasi kuat bahwa sistem Pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi sehingga diganti menjadi tertutup, mayoritas rakyat akan sulit menerimanya.

"Ingat, semua lembaga negara termasuk presiden, DPR dan MK harus sama-sama akuntabel di hadapan rakyat," ujarnya.

Mantan Presiden RI ini menegaskan sesungguhnya penetapan UU tentang sistem Pemilu berada di tangan Presiden dan DPR, bukan MK.

"Mestinya presiden dan DPR punya suara tentang hal ini. Mayoritas partai politik telah sampaikan sikap menolak pengubahan sistem terbuka menjadi tertutup. Ini mesti didengar," ungkap SBY.

Lebih lanjut, SBY meyakini jika dalam menyusun DCS, Parpol dan bacaleg berasumsi sistem Pemilu tidak diubah, tetap sistem terbuka.

"Kalau di tengah jalan diubah oleh MK, menjadi persoalan serius. KPU dan Parpol harus siap kelola “krisis” ini. Semoga tidak ganggu pelaksanaan pemilu 2024. Kasihan rakyat," tegasnya.

Sebelumnya, Denny Indrayana membocorkan informasi pribadi yang diterima dirinya soal putusan MK terkait sistem Pemilu legislatif.

Denny menyebut, dirinya mendapatkan informasi kalau MK bakal memutuskan gugatan Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu dengan putusan proporsional tertutup.

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," tulis Denny dalam akun Instagram pribadinya @dennyindrayana99, dikutip Minggu (28/5/2023).

Denny menyebut, putusan itu diambil setelah adanya dissenting opinion atau perbedaan pendapat dalam menjatuhkan putusan antara hakim MK.

Di mana jumlah perbandingannya yakni 6 hakim berbanding 3 hakim.

Perihal darimana informasi yang dirinya dapat, Denny tidak membeberkan identitas sosok tersebut. Terpenting kata dia, informasi yang dia terima itu kredibel.

"Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi," ucap Denny.

Jika memang pada putusan nantinya MK mengabulkan sistem pemilu dengan proporsional tertutup, maka kata dia sistem pemilu di Indonesia akan kembali ke masa orde baru (orba).

"Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba: otoritarian dan koruptif," kata Denny.

Dalam unggahannya itu juga, Denny menyampaikan kondisi politik tanah air saat ini.

Salah satunya yakni perihal penegakan hukum di Indonesia yang didasari pada putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK.

"KPK dikuasai, pimpinan cenderung bermasalah yang dihadiahi gratifikasi perpanjangan jabatan 1 tahun," kata Denny.

"PK Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, atas Partai Demokrat, diduga ditukarguling dengan kasus korupsi mafia peradilan di MA. Jika Demokrat berhasil "dicopet", Istilah Gus Romi PPP, maka pencapresan Anies Baswedan hampir pasti gagal," sambungnya.

"Masihkah ada harapan? Yang pasti terus ikhtiar berjuang, sambil menanti kemukjizatan. Salam integritas!" tutup Denny.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved