Perubahan Perilaku Masyarakat Menjadi Hal Paling Krusial dalam Pencegahan Stunting
Hasto mengungkapkan perubahan perilaku masyarakat menjadi hal yang paling krusial dalam upaya pencegahan stunting di Indonesia.
Sehingga di tahun 2023 ini relatif sudah tinggal di berjalan karena sebagian besar keperluan dan infrastruktur meski belum 100 persen, tetapi sudah luar biasa.
Meskipun angka pastinya belum keluar pasti, Pak Hasto bisa cerita daerah mana yang patut diapresiasi karena capaiannya sudah optimal, dan daerah mana yang perlu meningkatkan lagi supaya target di tahun 2024 datang, secara nasional tercapai?
Ya kalau lihat misalkan di Sumatera seperti daerah Sumatera Selatan ini bisa menjadi bagian dari pilot project, dari Sumatera Selatan gerakan-gerakan misalnya penurunan di beberapa daerah lumayan. Nanti kita lihat sebentar lagi angka akan kita keluarkan nanti kita lihat.
Di Jawa ini rata-rata, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah ini semua mengalami suatu penurunan angka stunting.
Jadi provinsi yang ada di Pulau Jawa ini mayoritas mengalami penurunan yang signifikan juga untuk stuntingnya.
Sehingga secara nasional itu mudah-mudahan pulau Jawa dan di beberapa luar Jawa penduduk besar bisa membandul, sehingga kita berharap penurunannya cukup signifikan ketika di Pulau Jawa ini menurun.
Tetapi memang kalau kita bicara di daerah-daerah yang agak perifer seperti katakanlah Papua, kemudian di daerah NTT, termasuk NTB dan di daerah Sulawesi yang sebagian besar agak sulit. Seperti Sulawesi Barat itu daerah-daerah yang memang masih berat, angkanya masih bisa jadi naik.
Pak Hasto, tadi disebutkan ada beberapa daerah yang angkat stantingnya dari awal sudah rendah seperti di Provinsi Bali. Bagaimana ceritanya?
Ya kita tahu stunting ini banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor yang mempengaruhi adalah faktor sensitif. Faktor sensitif itu ada lingkungan, tempat tinggalnya, air bersih, jambannya. Sedangkan kalau faktor spesifiknya itu gizinya, sehatnya badan sakit atau tidak.
Nah, daerah-daerah katakanlah Bali, Yogyakarta, DKI ini kan stuntingnya cenderung rendah. Karena memang secara umum lingkungannya Bali, lingkungannya mayoritas sarana air bersihnya ada, kemudian rumahnya kumuh praktis tidak banyak, kemudian juga katakanlah jamban di Bali di daerah turis sudah hampir tidak ada.
Bisa dibayangkan jika dibandingkan dengan daerah tertentu di luar Jawa yang masih BAB di sungai. Di Jawa saja masih ada daerah yang BAB di sungai. Ini kan beda sekali. Sehingga faktor penyebabnya seperti itu.
Pak Hasto, sebenarnya apakah benar pemantauan angka stunting itu bisa dilakukan lewat aplikasi tertentu?
Iya saya kira aplikasi itu bisa macam-macam intinya kan. Kita ini mau memantau harus ada datanya yang masuk, apa saja kan bisa dipantau dengan aplikasi. Jadi itu hanya bagaimana sistem penyelenggaraan pemerintahan secara elektronik, ada istilah SPBE, misalkan kita ingin memantau rumah tangga.
Kalau BKKBN ini memantau rumah tangga, siapa anaknya, berapa jaraknya, berapa umurnya, berapa kan semuanya bisa terpantau. Sehingga ketika penimbangan di Posyandu itu dijalankan dengan baik tertib.
Kemudian diukur dengan benar, kemudian yang datang banyak dan datanya diinput di dalam aplikasi tentu itu menjadi potret, sehingga kita bisa tahu, siapa, di mana, yang berat badannya tidak naik, panjang badannya tidak naik.
Kontroversi Surat Perjanjian Rahasiakan Keracunan MBG di Blora, Ini Penjelasan Komandan Kodim |
![]() |
---|
655 Perempuan di Sukoharjo Jadi Janda, Salah Satu Penyebabnya Murtad dan Finansial |
![]() |
---|
Warga Solo Geger Kemunculan Grup Gay di Medsos, Anggotanya Sulit Diidentifikasi Berpotensi Sebar HIV |
![]() |
---|
Kabulkan Tuntutan Pendemo, PDIP Ganti Keanggotaan Pansus Pemakzulan Bupati Sudewo |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca BMKG Jawa Tengah Besok, Selasa 23 September 2025: Wonosobo Berawan, Semarang Cerah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.