Kamis, 2 Oktober 2025

Refly Harun Bawa Argumentasi Baru Dalam Gugatan Ambang Batas Pencalonan Presiden 20 Persen

Refly Harun memastikan akan membawa argumentasi baru dalam gugatan ambang batas pencalonan presiden.

Tribunnews.com/ Muhammad Zulfikar
Refli Harun 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun memastikan akan membawa argumentasi baru dalam gugatan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Trasehold (PT) 20 persen di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai kuasa hukum Ekonom Senior Rizal Ramli yang mengajukan gugatan, Refly Harun akan membawa rangkuman yang terdiri dalam dua aspek.

"Jadi argumentasi ada dua, argumentasi yang sifatnya konstitusional dan ekstra atau non konstitusional," kata Refly Harun di Kantor Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020).

Baca: Rizal Ramli Buka Peluang Nyapres 2024, Jika Gugatan Dikabulkan

Lebih lanjut, Refly Harun menjelaskan satu persatu yang dimaksud dengan argumentasi konstitusional dan argumentasi non konstitusional.

Pertama, yang terkait argumentasi konstitusional, Refly mengatakan, bahwa PT telah mengamputasi hak sejumlah partai untuk mengajukan capres.

Sebagai buktinya, ia mengatakan, ada empat partai politik pada Pemilu 2019, tidak bisa mengajukan sendiri capresnya.

Baca: Rizal Ramli: Saat Ini Terjadi Demokrasi Kriminal

"Secara post factum itu ada empat partai politik yang kehilangan hak konstitusionalnya, untuk bisa mengusung atau mengajukan calon presidennya. Yaitu PSI, Garuda, kemudian Berkarya dan kemudian Perindo. Partai ini tidak bisa mengusung calon karena dia tidak punya suara atau kursi pada pemilu sebelumnya, 2014," jelas Refly.

Bahkan, hal yang sama akan terjadi pada Pilpres 2024 mendatang.

Di mana, terdapat partai-partai baru yang kemungkinan tidak bisa mencalonkan sendiri capres dari partainya.

Baca: Bersama Refly Harun, Rizal Ramli Gugat Presidential Threshold 20 Persen ke MK

Karena, PT Pilpres yang diatur di dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu menetapkan besaran dukungan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR partai politik, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

"Ada partai baru, contoh misalnya Gelora. Dia enggak akan bisa mencalonkan Presiden. Tapi kan kalau pendukung bisa. Wah kalau pendukung jangankan peserta Pemilu, kita saja bisa mendukung, karena hak konstitusional adalah hak untuk mengusung calon," ucapnya.

"Nah, hak konstitusional ini secara teoritis tidak boleh dihilangkan di peraturan di bawahnya, di undang-undang. Ini hak konstitusional, hak di atas," tambahnya.

Lebih jauh, Refly menyebut, argumentasi non konstutusional yakni aturan menciptakan kerusakan yang luar biasa.

Di mana, kontestasi Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon menghasilkan perpecahan di masyarakat.

"Kalau kita lihat dengan hati yang jujur, apa sih legitimasi untuk mempertahankan presidential trasehold? Enggak jelas. Kecuali bahwa kemarin itu (Pilpres 2019,red) adalah menjamin the incumbent bisa nyalon lagi, dan kemudian lawannya cuma satu, head to head. Karena jauh lebih gampang memenangkan pertarungan kalau dia head to head ketimbang calonnya harus 5," kata Refly.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved