Pegiat Antikorupsi: Paling Mendesak Adalah Perppu KPK
Dalam jangka panjang, legislative review perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif kebijakan untuk menyematkan KPK
Arsul juga tak ingin polemik revisi UU KPK ini justru membenturkan DPR dan pemerintah dan menimbulkan ketegangan baru.
Ia menilai, lebih baik pemerintah dan DPR kembali duduk bersama untuk membahas secara mendalam pasal-pasal dalam UU KPK hasil revisi, khususnya yang dianggap dapat melemahkan lembaga antikorupsi itu.
Baca: Jokowi Bertemu dengan Sri Mulyani dan Luhut B Panjaitan, Terkait Posisi Menteri?
"Kalau dipaksakan (perppu) kemudian ditolak DPR akan timbul ketegangan baru. Daripada tegang terus-terusan, lakukan legislative review. Ini bisa cepat kok setelah AKD terbentuk akhir bulan ini, November bekerja paling lambat Januari diusulkan revisinya," kata Arsul.
Diberitakan, UU KPK hasil revisi yang disahkan 17 September lalu ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.
Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu. Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.
Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Kemudian, kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.
Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK hasil revisi dan sejumlah RUU lain digelar mahasiswa di sejumlah daerah, Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan perppu. Namun, sampai saat ini belum ada keputusan yang diambil Presiden.