Pegiat Antikorupsi: Paling Mendesak Adalah Perppu KPK
Dalam jangka panjang, legislative review perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif kebijakan untuk menyematkan KPK
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat antikorupsi dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak untuk segera diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu disampaikan Erwin Natosmal menanggapi usulan Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani yang menyarankan Presiden Jokowi mengajukan kembali revisi Undang-Undang tentang KPK ke DPR.
"Saat ini, yang paling mendesak dan dibutuhkan agar KPK tetap berjalan dengan optimal adalah Perppu KPK," ujar Erwin Natosmal kepada Tribunnews.com, Selasa (15/10/2019).
Usulan Arsul Sani menurut dia, adalah solusi untuk jangka panjang, karena prosesnya akan memakan waktu yang relatif lama.
"Dalam jangka panjang, legislative review perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif kebijakan untuk menyematkan KPK," jelas Erwin Natosmal.
Baca: Putri Gusdur Sebut Jokowi Tidak Tegas Menyoal Perppu KPK
"Untuk jangka pendek, Perrpu KPK adalah solusi yang paling efektif," tegasnya.
Usul PPP ke Jokowi demi Selesaikan Polemik UU KPK
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menyarankan Presiden Joko Widodo mengajukan kembali revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ke DPR.
Ia menilai, cara tersebut paling tepat diambil untuk memenuhi aspirasi masyarakat yang keberatan dengan sejumlah ketentuan dalam UU KPK hasil revisi.
"Begitu alat kelengkapan dewan (AKD) terbentuk, di Prolegnas kita bicarakan. Sekaligus prolegnas 2020, pemerintah ajukan revisi UU KPK atas UU hasil revisi itu," kata Arsul saat dihubungi, Selasa (15/10/2019).
Baca: Soal Kemungkinan Kesepakatan Kabinet Hasil Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo, Ini Kata Asrul Sani
Arsul menilai, mekanisme legislative review ini jauh lebih tepat ketimbang Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ( Perppu) KPK.
Sebab, apabila Presiden menerbitkan perppu, DPR hanya memiliki pilihan untuk menerima atau menolak.
Ia khawatir mayoritas fraksi di DPR akan menolak jika Presiden menerbitkan perppu.
"Kalau mayoritas fraksi menilai tidak pas, bisa saja ditolak. Kan itu tidak menyelesaikan masalah," kata Arsul.
Arsul juga tak ingin polemik revisi UU KPK ini justru membenturkan DPR dan pemerintah dan menimbulkan ketegangan baru.
Ia menilai, lebih baik pemerintah dan DPR kembali duduk bersama untuk membahas secara mendalam pasal-pasal dalam UU KPK hasil revisi, khususnya yang dianggap dapat melemahkan lembaga antikorupsi itu.
Baca: Jokowi Bertemu dengan Sri Mulyani dan Luhut B Panjaitan, Terkait Posisi Menteri?
"Kalau dipaksakan (perppu) kemudian ditolak DPR akan timbul ketegangan baru. Daripada tegang terus-terusan, lakukan legislative review. Ini bisa cepat kok setelah AKD terbentuk akhir bulan ini, November bekerja paling lambat Januari diusulkan revisinya," kata Arsul.
Diberitakan, UU KPK hasil revisi yang disahkan 17 September lalu ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.
Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu. Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.
Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Kemudian, kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.
Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK hasil revisi dan sejumlah RUU lain digelar mahasiswa di sejumlah daerah, Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan perppu. Namun, sampai saat ini belum ada keputusan yang diambil Presiden.