RUU KUHP
Menkumham Akui RUU KUHP Kurang Sosialisasi
Kurangnya sosialisasi disebabkan banyaknya norma dalam RUU KUHP yang menjadi salah persepsi di masyarakat.
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengakui kurangnya sosialisasi terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang kini menuai polemik di masyarakat.
Kurangnya sosialisasi disebabkan banyaknya norma dalam RUU KUHP yang menjadi salah persepsi di masyarakat.
"Ini memang mungkin bagaimana, ya, kami memang juga mungkin tidak melakukan hal, saya juga mungkin kesalahan kita adalah sosialisasi," ujar Yasonna H Laoly di Kantor Kemkumham, Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Meski begitu, Yasonna membantah rapat pembahasan RUU KUHP dilakukan secara tertutup.
Yasonna menjelaskan selama empat tahun proses penyusunan RUU KUHP telah melibatkan banyak pakar, termasuk Komnas HAM hingga KPK.
Baca: Gara-gara Telihat Tak Pakai Jilbab, Gadis 17 Tahun Ini Disekap 4 Hari 4 Malam, Ini yang Terjadi
"Soal transparansi, kalau pembahasan RKUHP, baik Panja maupun rapat tidak tertutup, rapatnya terbuka. Hanya ini tidak setiap hari, empat tahun, terus menerus, tidak pernah kita membuat pembahasannya tertutup, panja terbuka apapun terbuka," kata Yasonna.
Yasonna menilai kegaduhan RUU KUHP belakangan ini karena wartawan tidak terlalu tertarik mengikuti setiap rapat pembahasan RUU KUHP.
Baca: Misteri Kematian Model Cantik, Sebelum Ditemukan Tak Bernyawa di Lobi Terlihat Dibawa Masuk ke Lift
Wartawan dan masyarakat mulai gaduh saat proses pembahasan nyaris rampung.
Sayangnya, publik mendapat draf yang sebenarnya telah mengalami perubahan.
Apalagi, kata Yasonna publik hanya melihat pasal tanpa melihat penjelasannya.
"Jadi begini panik cari di mana kiri kanan belakang padahal tim masih bekerja kalian sudah ambil draft lama," ujarnya.
14 pasal perlu ditinjau kembali
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melihat ada sekitar 14 pasal di dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang perlu ditinjau kembali dengan seksama.
"Saya lihat materi yang ada, substansi yang ada kurang lebih 14 pasal (perlu ditinjau kembali)," ujar Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (20/9/2019).
Namun terkait 14 pasal yang dinilai Jokowi harus ditinjau kembali, Ia tidak merincikannya satu persatu dan akan dikomunikasikan dengan semua pihak.
"Nanti ini yang akan kami komunikasikan, baik dengan DPR maupun dengan kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan materi yang ada," tutur Jokowi.
Baca: RUU Pemasyarakatan: Napi Bisa Pulang ke Rumah dan Nge-mall
Melihat kondisi tersebut, Jokowi pun mengaku telah memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan ke DPR bahwa revisi KUHP tidak disahkan pada periode ini.
"Pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan DPR periode ini. Saya harap DPR punya sikap sama sehingga pembahasan RUU KUHP dilakukan dpr periode berikutnya," ucap Jokowi.
Diketahui, terdapat enam isu krusial dalam revisi KUHP, di antaranya:
1. Penerapan asas legalitas pasif. Berdasarkan asas tersebut hukum positif yang tertulis maupun tidak tertulis dapat diterapkan di Indonesia supaya tidak bertentangan dengan Pancasila dan undang-undang dasar 1945 serta asas-asas hukum lainnya.
2 Perluasan pertanggungjawaban pidana. Korporasi kini bisa menjadi subjek hukum pidana sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.
3. Penerapan doktrin ultimum remedium, yakni sistem pemidanaan diatur dengan tujuan tidak menderitakan tapi memasyarakatkan dan pembinaan.
4. Pidana mati kini merupakan pidana yang sifatnya khusus yang selalu diancam secara alternatif. Artinya harus diancamkan dengan pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu harus diatur dengan syarat-syarat atau kriteria khusus dalam penjatuhan pidana mati.
5. RUU KUHP merupakan bagian dari rekodifikasi dan pengaturan-pengaturan terhadap berbagai jenis tindak pidana yang telah ada di KUHP dan undang-undang terkait lainnya. RUU KUHP telah menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat modern.
6. Pengaturan tindak pidana khusus dalam RUU KUHP diatur dengan kriteria-kriteria yang jelas dan pasti. Dikategorikan sebagai tindak pidana khusus, untuk merespon perkembangan teknologi dan komunikasi yang telah mempengaruhi kejahatan yang lebih luas, lintas batas, dan terorganisir.