Jumat, 3 Oktober 2025

Pemilu 2019

Uji Materi Soal Aturan Hitung Cepat Masih Bergulir di MK, Pemohon Perbaiki Permohonan

“Ada beberapa perbaikan yang kami sampaikan," kata dia, seperti dilansir laman MK

KOMPAS.COM/Sandro Gatra
Gedung Mahkamah Konstitusi, KOMPAS.COM/Sandro Gatra 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) masih menangani uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terutama soal aturan hitung cepat atau quick count.

Pada Senin (8/4/2019), kuasa hukum pemohon Veri Junaidi menyampaikan sejumlah perbaikan dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca: Bawaslu dan KPU Kompak Dorong MK Prioritaskan Uji Materiil soal Aturan Hitung Cepat

Panel Hakim dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

“Ada beberapa perbaikan yang kami sampaikan," kata dia, seperti dilansir laman MK, Selasa (9/4/2019).

Untuk perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019, perbaikan, meliputi dalam kedudukan, pemohon yang diwakili Sunarto sebagai Ketua AROPI diberikan kewenangan untuk mengajukan perkara ini.

Sedangkan, perbaikan lainnya menyangkut pokok permohonan mengenai penguatan posisi dan kedudukan dari putusan MK yang mestinya memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi dibandingkan Undang-Undang.

Selanjutnya terkait pembahasan Undang-Undang Pemilu, pemohon melampirkan naskah akademik dalam permohonan.

Menurut Veri, apabila dilihat dari naskah akademik dan pembahasan yang ada, tidak ada pembahasan spesifik mengenai partisipasi masyarakat, khususnya survei dan hitung cepat.

"Hanya saja dari naskah akademik yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri, hanya ada satu halaman yang membahas soal survei, hanya menyebutkan pengaturan survei dan hitung cepat. Tidak ada argumentasi dan perdebatan mengenai teori-teori konstitusi dan sebagainya,” kata Veri.

Adapun, untuk pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XVII/2019, kuasa hukum Andi Syafrani menegaskan soal kedudukan hukum. Pemohon I - V dikaitkan dengan Pemohon VI dan VII ternyata tidak dapat dipisahkan mengenai kategori penundaan publikasi hasil hitungan cepat yang justru berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu.

Selain itu, pemohon menambahkan doktrin yurisprudensi hukum Islam dalam permohonan.

“Hukum bagi perantara sama dengan hukum tujuan. Ketika tujuan hukumnya wajib, maka perantara juga hukumnya wajib. Dalam hal ini, tujuannya tentang lembaga survei. Tapi lembaga survei tidak bisa muncul tanpa lembaga media. Maka keduanya saling terikat. Hukum bagi lembaga survei, itu juga hukum bagi lembaga media,” tegas Andi.

Untuk diketahui, pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019 yang diajukan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 UU Pemilu.

Pemohon beralasan, dengan dihidupkannya kembali frasa “larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang” dan “pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat” beserta ketentuan pidananya dalam UU Pemilu, maka pembentuk undang-undang telah melakukan pembangkangan terhadap perintah konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum.

Padahal Pemohon secara kelembagaan telah mempersiapkan seluruh resources untuk berpartisipasi dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” melalui pelaksanaan riset atau survei dan mempublikasikannya. Namun demikian, upaya Pemohon tersebut potensial dibatasi atau bahkan dihilangkan dengan keberlakuan pasal-pasal a quo.

Sebagaimana diketahui, seluruh norma dari pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah melalui tiga putusan yakni Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009, juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009, juncto Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3April 2014.

Sedangkan Perkara 25/PUU-XVII/2019 diajukan oleh para Pemohon yang terdiri atas PT Televisi Transformasi Indonesia, PT Media Televisi Indonesia, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT Lativi Mediakarya, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indikator Politik Indonesia dan PT Cyrus Nusantara.

Para Pemohon menguji pasal yang serupa dengan perkara sebelumnya yakni Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu.

Para Pemohon menjelaskan, penundaan publikasi hasil hitungan cepat justru berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu.

Terlebih pemilu tahun ini adalah pemilu perdana yang menggabungkan pilpres dan pileg dalam sejarah Indonesia. Warga pemilih pasti sangat antusias untuk segera mendapatkan informasi seputar hasil pemilu.

Baca: AROPI Gugat UU Pemilu Soal Rentang Waktu Penyiaran Hasil Hitung Cepat Pemilu ke MK

Menurut para Pemohon, pembatasan waktu dengan ancaman pidana soal hitungan cepat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diuji justru berpotensi menimbulkan berita-berita palsu (hoaks) seputar hasil pemilu.

Hal ini menurut para Pemohon akan menambah beban pelaksanaan pemilu bagi penyelenggara pemilu maupun aparat hukum, serta dapat menyulitkan dalam menciptakan tujuan pemilu yang damai, tertib, adil, transparan, dan demokratis.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved