Kaleidoskop 2017
Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM, Jokowi Jangan Melempem!
Bentangan payung hitam merupakan bentuk upaya para keluarga korban menuntun penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saban hari Kamis sejak 18 Januari 2007, belasan bahkan puluhan orang selalu membentangkan 'payung hitam' di depan Istana Negara, Jakarta Pusat.
Bentangan payung hitam merupakan bentuk upaya para keluarga korban menuntun penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Mereka menyebut aksi tersebut dengan sebutan 'Aksi Diam'.
Tepat dipengujung tahun 2017 atau aksi Kamisan ke-519, Tribunnews pada Kamis (21/12/2017) mencoba menemui para keluarga korban yang masih 'setia' menagih janji pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Para korban yang terdiri dari para Ibu dan kaum muda itu terus menyuarakan keadilan.
"Hidup Korban, Jangan Diam, Jangan Diam, Lawan," seru para keluarga korban dengan kepalan tangan kiri keatas kepala. Kata-kata tersebut itu pula tak pernah kedur sejak Joko Widodo menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tak hanya aksi diam dan bentangan payung hitam, Aksi Kamisan ini juga membawa beberapa atribut lain seperti foto-foto para korban pelanggaran HAM dan sebuah sepanduk bertuliskan 'Jokowi Jangan Melempem !'. Kata-kata dalam sepandung berukuran 3x1 meter tersebut sesuai dengan apa yang terjadi saat ini. Dimana, Presiden Jokowi masih menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM sebagai Pekerjaan Rumah (PR) Pemerintah.
"Saya menyadari masih banyak pekerjaan besar, pekerjaan rumah perihal penegakan HAM yang belum bisa tuntas diselesaikan, termasuk di dalamnya pelanggaran HAM," kata Presiden Joko Widodo dalam acara peringatan hari HAM Sedunia ke-69 di Solo, Jawa Tengah pada Minggu (10/12/2017).
Menaggapi peryataan Presiden Jokowi, Maria Katarina Sumarsih atau akrab dipanggil Ibu Sumarsih yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan justru menayakanan balik peryataan Presiden Jokowi tersebut. "Kapan PR itu akan mulai dikerjakan pertanyakan seperti itu," tanya Sumarsih.
Baca: Bukan Pengedar dan Dianggap Hanya Pemakai Narkoba, Tio Pakusadewo Akan Direhabilitasi
Sumarsih merupakan orang tua dari BR Norman Irmawan, Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas dalam tragedi Semanggi 1 pada 13 November 1998.
Ditemui saat menggelar aksi kamisan pekan lalu, Sumarsi yang tampak mengenakan kaos hitam bergambar putranya wawan (panggilan akrab BR Norman Irmawan) terus menyerukan untuk menagih janji Presiden Jokowi yang akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Ia mengatakan bahwa penyelesain kasus pelangaraan HAM saat ini justru semakin 'melempem'. Pasalnya, kata Sumarsih, Presiden Jokowi mulai melupakan janji-janji kampanyenya pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sebagai prioritas.
"dalam butir FF menyatakan, Kami berkomitmen menyesuaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di butir GG, Kami berkomitmen menghapus imunitas. tetapi mana?," kata Sumarsih.
Dia juga sangat menyangkan dan menyesalkan soal pengangkatan Wiranto sebagai Menteri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopohukam) oleh Presiden Jokowi. Dia menilai, Wiranto orang yang diduga dan harus bertanggung jawab dalam penembakan mahasiswa baik dalam kasus Semanggi 1, Semanggi 2 dan Tragedi Trisakti pada tahun 1998.