Golkar Perlu Dorong Program Populis untuk Menangkan Pemilu 2019
LSI menurutnya merekomendasikan pasca kasus ini perlu untuk melakukan kolaborasi-kolaborasi di tingkat elit.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Golkar dinilai perlu fokus mendorong program-program populis.
Langkah ini penting, agar Partai Golkar dapat kembali berjaya dan memenangkan pemilu 2019.
"Ditengah kondisi politik internal, saya mengajak para anggota legislatif Partai Golkar untuk tetap concern terhadap isu-isu pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat," ujar Ketua Umum Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), Ulla Nurachwati dalam sesi Workshop Nasional Legislatif Partai Golkar 2017, di Hotel Merlynn Park, Jakarta Pusat, Rabu (6/12/17).
Baca: Hanura: Siapa Saja Pasangannya, Elektabilitas Jokowi Tetap Tinggi
Sementara, Peneliti LSI, Adjie Alfarabi menekankan, jika Partai Golkar konsisten mendorong program-program yang menyasar “wong cilik” atau pro-rakyat, misalnya sembako murah, dan itu dilakukan secara serentak dihampir seluruh daerah, simpati dan dukungan terhadap Golkar akan tetap besar.
"Melalui program-program populis tersebut, saya kira menjadi cara paling efektif untuk mengelola dukungan publik. Jika program merakyat dilakukan secara konsisten Golkar bisa menjadi nomor 1 dengan elektabilitas mencapai 22,6 persen. Diatas PDI-Perjuangan dan Gerindra masing-masing 20,1 persen dan 8 persen," tegas Alfarabi dalam keterangan tertulis.
Alfarabi mengatakan, Golkar adalah partai yang tidak bergantung pada “personal order”, pada satu tokoh besar, tetapi lebih pada “impersonal order”, lebih tepatnya pada sistem.
"Partai Golkar memiliki azimat yang tidak bertumpu pada tokoh utama partai. Karena sistem inilah yang menjadi kekuatan dan perekat Golkar, bukan tokoh,"ujarnya.
Baca: Calon Panglima TNI dan Mimpi Sahabat Karib Hadi Tjahjanto
Terkait dengan kasus e-KTP yang menyeret Ketua Umum, Alfarabi mengatakan memang memiliki dampak bagi partai. Namun, angkanya perubahannya hanya sekitar 1 sampai 3 persen. Dari survei LSI, elektabilitas Partai Golkar turun dari 13,6 persen pada November 2017, menjadi 11, 6 persen setelah Setya Novanto tersangka KPK kedua kali.
"Dampaknya tidak terlalu besar buat Golkar karena persepsi publik terkait dengan kasus tersebut bukan pada partai secara institusi tetapi pada personal Ketua Umumnya saja," ujar Alfarabi.
LSI menurutnya merekomendasikan pasca kasus ini perlu untuk melakukan kolaborasi-kolaborasi di tingkat elit.
"Kompetisi para elit harus diakhiri dengan kolaborasi dan kerjasama, Golkar sudah teruji soal ini," ujarnya.