Jumat, 3 Oktober 2025

Hartati Diadili

Yusril: Sumbangan Hartati ke Bupati Amran Bukan Suap

Ahli Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra menilai jika pemberian uang Rp 3 miliar dari perusahaan Hartati Murdaya Bupati Amran Batalipu saat

Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-inlihat foto Yusril: Sumbangan Hartati ke Bupati Amran Bukan Suap
TRIBUN/DANY PERMANA
Terdakwa kasus dugaan suap kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit Kab. Buol Hartati Murdaya (kiri) menjalani persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (3/1/2013). Pemilik PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM) tersebut didakwa 5 tahun penjara karena diduga menyuap Bupati Buol, Amran Batalipu. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra menilai jika pemberian uang Rp 3 miliar dari perusahaan Hartati Murdaya Bupati Amran Batalipu saat Pemilukada Buol tahun 2012, bukan merupakan suap.

Pasalnya, Amran yang mengikuti perhelatan Pemilukada Buol Juli 2012 lalu notabenenya seorang calon incumbent yang memiliki hak untuk menghimpun dana baik dari pribadi maupun perusahaan. Meski masih menjabat sebagai bupati Buol saat mencalonkan diri. Hal itu, sebagaimana diatur dalam pasal 84 UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

"Karena yang bersangkutan (Amran Batalipu) sudah ditetapkan sebagai calon, dan sah terima sumbangan sesuai dengan batas-batas. Jadi memang harus dibedakan sumbangan kepada calon dengan Bupati," kata Yusril saat memberi keterangan ahli untuk terdakwa perkara suap pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit, Hartati Murdaya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/1/2013).

Oleh karena itu, menurut Yusril, jika di kemudian hari terhadap hal-hal yang diduga bertentangan dengan hukum maka yang diberlakukan adalah ketentuan dalam UU mengenai pemilukada, bukan diberlakukan UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Begitu juga dengan si Bupati, kata Yusril, apabila ada pelanggaran, maka harus diberlakukan ketentuan pidana pemilu yang terkait pilkada, bukan UU Pemberantasan Tipikor.

"Memang bisa saja kasus-kasus seperti ini dilihat dari sudut pandang berbeda, tapi yang terkait dengan konteks sumbangan pilkada maka yang diberlakukan mestinya ketentuan tentang pilkada," urainya.

"Dalam konteks ini Panwaslu menerima audit dan Panwaslu lakukan teguran. Kaidah hukum harus dilihat dimana norma hukum itu berlaku. Tidak boleh kalau kelebihan (sumbangan) langsung lari ke pidana suap atau korupsi, dan biasanya kalau ditegur akan dipatuhi oleh peserta Pilkada," tambah Yusril.

Lebih lanjut dikatakan Yusril jika penerimaan dana sumbangan tersebut kapasitasnya pribadi, sebab dia merupakan seorang calon bupati. apalagi jiga permintaannya memang jelas untuk kepentingan pilkada.

"Tidak bisa kalau seorang calon incumben menerima sumbangan pilkada lalu itu dianggap sebagai pemberian kepada seorang bupati, mesti dibedakan itu. Yang bersangkutan ini sudah ditetapkan sebagai calon dan dia syah untuk menghimpun dana untuk kepentingan pencalonannya," terang Yusril.

Terkait dengan sumbangan pilkada kepada seorang calon incumben, sambung Yusril, harus dipandang bahwa hal itu tidak berhubungan langsung dengan tugas dan kewajibannya sebagai seorang bupati. Jadi, kalau dia menghimpun dana untuk kepentingan pilkada itu maka dia harus didudukkan dalam posisinya sebagai calon bupati, bukan sebagai seorang bupati.

"Jika seorang bupati akan maju lagi maka ketentuan yang mengatur adalah UU no 32 tahun 2004," paparnya.

Kendati demikian, Yusril mengakui, bahwa di Indonesia banyak bupati yang mencalonkan kembali dalam pemilukada berikutnya. Namun, mereka menghimpun dana dengan mengeluarkan banyak izin baru di bidang tambang dan perkebunan. Nah, Praktek-praktek seperti ini, tegas Yusril, jelas menyalahgunakan jabatan.

"Ini menyulitkan para pengusaha di daerah-daerah itu, baik diminta halus maupun dimnta paksa," ujarnya.

Terhadap praktek-praktek penghimpunan dana oleh seorang incumben ini apakah bisa disebut sebagai pemerasan, pemaksaan, atau permintaan sumbangan, Yusril mengatakan hal itu terhantung dari titik berat kasusnya masing-masing.

"Memang banyak terjadi konflik hukum disini, tapi dalam penerapan hukum tergantung sejauh mana fakta-fakta apakah ada lebih banyak unsur paksaannya, unsur penyuapannya, atau memang ini sumbangan pilkada," imbuhnya.

Klik:

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved