5 Mitos Seputar Glaukoma dan Faktanya, Menurut Dokter Spesialis Mata
Berikut 5 mitos seputar glaukoma, penyakit mata yang menyebabkan kebutaan terbanyak nomor dua di dunia beserta faktanya.
Guru besar FKUI sekaligus Head of Glaucoma Service, JEC Eye Hospitals and Clinics Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, SpM(K) menuturkan, screening dan penanganan glaukoma kini sudah berkembang.
Beberapa teknologi yang digunakan meliputi: Optical Coherence Tomography (OCT), Visual Field Test (Perimetri), Tonometri Non-Kontak (Air Puff Test) & Goldmann Applanation Tonometry – Teknik modern untuk mengukur tekanan bola mata dengan lebih akurat, dan Gonioskopi.
“Sebagai salah satu jaringan rumah sakit mata terkemuka di Indonesia, kami terus meningkatkan kesadaran dan akses terhadap layanan kesehatan mata. Melalui kampanye edukatif dan fasilitas pemeriksaan mata yang lengkap, kami berharap dapat membantu lebih banyak masyarakat dalam mendeteksi dan mengelola glaukoma lebih awal,” jelas Prof Widya.
Tahun ini peringatan World Glaucoma Week 2025: “Uniting for Sight”, menekankan kolaborasi global dalam mencegah kebutaan akibat glaukoma.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023, dari 39 juta kasus kebutaan di dunia, sebanyak 3,2 juta disebabkan oleh glaukoma dan prevalensi glaukoma mencapai 0,46 persen, atau sekitar 4 hingga 5 orang per 1.000 penduduk.
Sebanyak 80 persen kasus glaukoma tidak memiliki gejala, kebanyakan pasien terdiagnosa secara tidak sengaja saat tes kesehatan atau di saat skrining. Namun jika muncul gejala sakit kepala hebat, pandangan tiba- tiba kabur, mual, muntah, dan kesakitan hebat, masyarakat perlu waspada.
Pasien yang menderita glaukoma akut, memiliki waktu 2 x 24 jam untuk segera menurunkan tekanan bola mata, jika terlambat, kelainannya akan menjadi permanen.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.