Konflik Palestina Vs Israel
Batas Waktu Trump untuk Tunggu Jawaban Hamas Sudah Dekat, AS Ogah Negosiasi Lagi
Batas waktu yang diberikan Presiden AS Donald Trump kepada Hamas untuk menjawab proposal rencana perdamaian Gaza sudah dekat.
TRIBUNNEWS.COM - Batas waktu Hamas untuk menjawab proposal rencana 20 poin perdamaian di Gaza dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah dekat.
Dunia terus menunggu kapan Hamas akan menjawab proposal perdamaian tersebut, agar perang di Gaza segera berakhir.
Saat ini, Hamas masih terus melakukan diskusi internal, termasuk dengan faksi-faksi Palestina lainnya di Gaza.
Namun ada kabar Hamas menginginkan perubahan pada sejumlah poin dalam rencana tersebut.
Dilaporkan, Hamas meminta peninjauan kembali syarat-syarat terkait penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza dan ketentuan mengenai perlucutan senjata.
Dikutip dari Ynet, sumber-sumber di Kairo mengatakan kepada surat kabar Lebanon, Al-Akhbar, baik AS maupun Israel menolak untuk melakukan negosiasi ulang terkait dengan keberatan Hamas.
Sumber-sumber di Kairo mengungkapkan pesimisme yang semakin meningkat tentang keberhasilan rencana tersebut.
Menurut para pejabat AS, proposal tersebut merupakan kesempatan terakhir untuk menghindari operasi militer Israel berskala besar di Gaza.
Al-Sharq Al-Awsat, surat kabar berbahasa Arab yang berbasis di London, melaporkan adanya perbedaan pendapat internal di antara faksi-faksi di Gaza.
Hamas dilaporkan tidak berniat menolak rencana tersebut secara langsung, tetapi sedang mempertimbangkan untuk menerimanya dengan beberapa modifikasi, yang ditentang Washington.
Para pejabat Israel telah menegaskan, kesepakatan tersebut tidak dapat dinegosiasikan.
Baca juga: Hamas Mau Terima Rencana Perdamaian Gaza dari Trump, tapi Enggan Melucuti Senjata
Hamas diperkirakan akan mengusulkan perubahan terkait pembebasan tepat waktu 48 sandera, penarikan Israel dari Gaza, dan pengaturan keamanan untuk skenario "hari berikutnya".
Meskipun berupaya menunjukkan sikap positif untuk memastikan gencatan senjata dan akses bantuan tanpa batas, para pejabat Hamas mengatakan mereka tidak dapat menjamin pembebasan semua sandera dalam waktu 72 jam karena ketidakpastian lokasi mereka.
Faksi-faksi lain di Gaza memandang rencana Trump sebagai "kekalahan dalam perang", memperingatkan bahwa menerimanya dapat membahayakan masa depan Gaza dan memungkinkan Israel membangun kendali keamanan ala Tepi Barat.
Jihad Islam telah menentang keras rencana tersebut, meskipun keputusan akhir tetap berada di tangan Hamas.
Ilmuwan politik Maher Abu Saada, yang pindah dari Gaza ke Mesir, mengatakan kepada The Guardian bahwa Hamas kini menghadapi pilihan "antara buruk dan lebih buruk."
Ia mengatakan penolakan dapat memungkinkan Israel "melakukan apa pun untuk mengakhiri perang", seperti yang telah ditegaskan Trump.
Dr. Michael Milstein, pakar Hamas di Universitas Tel Aviv, mengatakan tidak ada pemisahan yang nyata antara Gaza, Tepi Barat, dan kepemimpinan eksternal.
"Semua menentang klausul pelucutan senjata, karena pertempuran merupakan bagian inti dari identitas mereka."
"Sayap militer khususnya ingin terus berjuang. Mereka melihat Israel kesulitan dengan mobilisasi cadangan dan pemilihan umum yang akan datang — ini masalah ketahanan," ucap Milstein.
Terjadi Perpecahan di Internal Hamas
Meskipun menanggapi rencana Trump soal perdamaian di Gaza secara positif, namun terdapat indikasi perpecahan internal di dalam Hamas.
BBC melaporkan pemimpin de facto Hamas di Jalur Gaza, Izz al-Din Haddad, menentang keras rencana Trump.
Haddad, yang sebelumnya menjabat Komandan Brigade Kota Gaza, diyakini berpandangan proposal tersebut dirancang untuk mengakhiri keberadaan Hamas, terlepas dari apakah kelompok tersebut mendukungnya atau tidak.
Oleh karena itu, ia dilaporkan siap untuk terus melawan Israel.
Baca juga: Hamas Akan Segera Jawab Rencana Gencatan Senjata Trump, Serius Bahas Meski Punya Keberatan
Meskipun demikian, Hamas tampaknya didukung oleh para mediator Arab, Mesir dan Qatar, yang dalam beberapa hari terakhir telah mengisyaratkan beberapa perubahan perlu dilakukan pada proposal AS.
Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, mengatakan di Paris proposal tersebut memiliki "banyak celah yang perlu diisi", terutama mengenai dua isu penting, yakni tata kelola dan pengaturan keamanan.
"Kami mendukung rencana Trump dan visi untuk mengakhiri perang dan perlu melangkah maju," ujar Abdelatty, dikutip dari BBC.
Abdelatty menambahkan, Qatar, Mesir, dan Turki sedang bekerja keras meyakinkan Hamas untuk menerima rencana tersebut.
Abdelatty juga menegaskan Hamas harus memahami bahwa mereka "tidak memiliki peran di hari setelah" perang berakhir.
"Ini adalah kesepakatan penuh di antara kami, sebagai orang Arab, sebagai Muslim, dan bahkan di antara orang-orang Hamas sendiri," kata diplomat Mesir tersebut.
"Mereka memahami betul bahwa mereka tidak memiliki peran untuk hari setelah [perang], dan ini adalah fakta," lanjutnya.
Sementara itu, kelompok militan Palestina lainnya, Jihad Islam Palestina (PIJ), juga menunjukkan sinyal melunak terhadap proposal tersebut.
Wakil Sekretaris Jenderal PIJ, Mohammed al-Hindi, mengatakan kepada Al Arabiya bahwa kelompoknya menginginkan perubahan besar pada rencana tersebut, termasuk jadwal penarikan pasukan Israel yang jelas terkait dengan pembebasan sandera.
Para mediator terus berdialog dengan AS mengenai kemungkinan amandemen, menyusul kekecewaan beberapa negara Arab atas perubahan yang diizinkan AS untuk ditambahkan oleh Netanyahu sebelum pengumuman proposal.
(Tribunnews.com/Whiesa)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.