Sabtu, 4 Oktober 2025

Konflik Rusia Vs Ukraina

Siapa Dmitry Medvedev? Cuitannya Membuat Donald Trump Mengerahkan Dua Kapal Selam Nuklir

Inilah sosok Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia yang cuitannya membuat Donald Trump mengerahkan kapal selam nuklir.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
Kolase Tribunnews: Instagram Donald Trump/X Dmitry Medvedev
TRUMP DAN MEDVEDEV - Kolase foto Donald Trump saat rapat rahasia mengenai serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, 21 Juni 2025 (kiri) dan Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia Dmitry Medvedev saat mengadakan pertemuan dengan Presiden Serbia Aleksandar Vučić menjelang forum antar-partai SCO plus, 21 Oktober 2020. Inilah sosok Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia yang cuitannya membuat Donald Trump mengerahkan kapal selam nuklir. 

TRIBUNNEWS.COM Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia yang komentarnya membuat Presiden AS Donald Trump memindahkan dua kapal selam nuklir, dulunya pernah dianggap sebagai reformis liberal.

Namun kini, ia dikenal sebagai salah satu tokoh paling vokal dalam menyuarakan sikap anti-Barat di Kremlin, The Moscow Times melaporkan.

Pria berusia 59 tahun ini menjabat sebagai Presiden Rusia dari 2008 hingga 2012.

Selama masa jabatannya, ia berusaha menjalin hubungan "bersahabat" dengan Eropa dan Amerika Serikat.

Namun, namanya mulai meredup setelah jabatan tersebut kembali dipegang oleh Vladimir Putin.

Sebagai informasi, Vladimir Putin pertama kali menjabat sebagai Presiden Rusia pada tahun 2000 hingga 2008 selama dua periode berturut-turut.

Kursi kepresidenan kemudian diisi oleh Dmitry Medvedev (2008–2012), sebelum akhirnya Putin kembali menjabat sebagai presiden selama 13 tahun hingga saat ini (periode ketiga, keempat, dan kelima).

Pada tahun 2012, Medvedev ditunjuk sebagai Perdana Menteri, lalu pada 2020 diangkat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, sebuah posisi yang lebih bersifat penasihat.

Sejak Rusia melancarkan serangan ke Ukraina pada 2022, Medvedev mulai menunjukkan pandangan garis keras di media sosial.

KOLASE FOTO - Kolase foto Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kiri) dan mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev (kanan) dibuat pada Sabtu (2/8/2025).
KOLASE FOTO - Kolase foto Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kiri) dan mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev (kanan) dibuat pada Sabtu (2/8/2025). (Facebook Donald J. Trump/Dmitry Medvedev)

Dalam sejumlah pernyataan publik, ia menggambarkan negara-negara Barat sebagai pihak yang jahat.

Ia juga menyatakan bahwa Ukraina pada dasarnya adalah bagian dari Rusia, serta mengemukakan kemungkinan penggunaan senjata nuklir terhadap musuh-musuh Rusia.

Baca juga: Putin: Rudal Hipersonik Oreshnik Mulai Diproduksi, Siap Ditempatkan di Belarus Akhir Tahun Ini

Pada bulan Juni 2025, setelah AS melancarkan serangan udara ke fasilitas nuklir Iran, Medvedev menyatakan bahwa “sejumlah negara” bersedia menyediakan hulu ledak nuklir bagi Teheran.

Pernyataan itu memicu kemarahan Trump, yang menganggap Medvedev dengan santai mengancam akan meluncurkan serangan nuklir.

Adu Cuitan

Baru-baru ini, Donald Trump dan Medvedev saling melepar komentar di media sosial.

Pada Senin (28/7/2025), Medvedev menulis cuitan di X:

“Trump sedang memainkan permainan ultimatum dengan Rusia: 50 hari atau 10 hari. Dia harus ingat dua hal:

Rusia bukanlah Israel atau bahkan Iran.

Setiap ultimatum baru adalah ancaman dan langkah menuju perang. Bukan antara Rusia dan Ukraina, tetapi dengan negaranya sendiri. Jangan terjebak di jalan Sleepy Joe!”

Sebelumnya, Trump menyatakan akan memperpendek batas waktu yang diberikan kepada Vladimir Putin untuk mencapai kesepakatan damai dengan Ukraina, dari 50 hari menjadi kurang dari dua minggu, atau menghadapi "tarif sekunder" yang besar, seperti dikutip CNBC.com.

Kemudian pada Kamis (31/7/2025), Trump memperingatkan Medvedev atas retorikanya, sekaligus mengkritik hubungan dagang Rusia–India.

“Saya tidak peduli apa yang India lakukan terhadap Rusia. Mereka bisa bersama-sama menghancurkan ekonomi mereka yang mati, saya tidak peduli,” tulis Trump di Truth Social.

“Kita hanya sedikit berbisnis dengan India, tarif mereka terlalu tinggi—termasuk yang tertinggi di dunia.”

“Demikian pula, Rusia dan AS hampir tidak berbisnis."

"Mari kita biarkan seperti itu, dan beri tahu Medvedev—mantan Presiden Rusia yang gagal, yang merasa dirinya masih presiden—untuk berhati-hati dalam berbicara. Dia memasuki wilayah yang sangat berbahaya!”

Medvedev kemudian menanggapi:

Baca juga: Geram, Donald Trump Kerahkan Kapal Selam Nuklir Dekat Rusia

“Jika beberapa patah kata dari mantan Presiden Rusia dapat memicu reaksi setegang itu dari Presiden Amerika Serikat yang sedang menjabat dan katanya tangguh, maka jelas Rusia berada di jalur yang benar dan akan melanjutkan arah yang telah dipilihnya,” tulisnya di Telegram.

“Soal komentarnya tentang ‘ekonomi mati’ India dan Rusia serta ‘wilayah berbahaya’, mungkin ia perlu meninjau kembali film-film favoritnya tentang mayat hidup, dan mengingat betapa berbahayanya 'Dead Hand' yang mistis itu.”

Dead Hand adalah sistem otomatis Rusia untuk meluncurkan serangan nuklir jika terdeteksi adanya serangan nuklir terhadap negara tersebut.

Sebagian pengamat Rusia menganggap cuitan-cuitan Medvedev hanyalah usahanya untuk tetap relevan di dunia politik.

Namun, Trump menanggapinya secara serius.

Pada Jumat (1/8/2025), Trump menulis di Truth Social:

“Berdasarkan pernyataan yang sangat provokatif dari mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia, saya telah memerintahkan dua kapal selam nuklir ditempatkan di lokasi strategis, sebagai langkah antisipasi jika pernyataan bodoh dan provokatif ini lebih dari sekadar omong kosong.”

“Kata-kata sangat penting, dan sering kali bisa menyebabkan konsekuensi yang tak diinginkan.”

“Saya harap ini bukan salah satu contohnya. Terima kasih atas perhatian Anda terhadap isu ini!”

Sikap yang Berbeda saat Menjabat sebagai Presiden

Gaya komunikasi Medvedev yang sekarang, sangat bertolak belakang dengan citranya saat menjabat sebagai presiden.

Kala menjabat, dalam doktrin kebijakan luar negerinya, Medvedev menyatakan bahwa Rusia tidak menginginkan konfrontasi dengan negara mana pun.

Pada 2010, ia menandatangani perjanjian pengurangan senjata nuklir dengan Presiden AS saat itu, Barack Obama.

Setahun kemudian, ia berhasil membawa Rusia bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia setelah 18 tahun negosiasi.

Di bawah kepemimpinannya pula, Moskow abstain dalam pemungutan suara penting Dewan Keamanan PBB terkait Libya pada 2011, yang membuka jalan bagi intervensi militer NATO. Keputusan ini kemudian terus-menerus dikritik oleh Putin.

Namun, selalu jelas siapa yang menjadi pemegang kekuasaan sejati dalam duet yang oleh kawat diplomatik AS dijuluki sebagai "Batman dan Robin" itu.

Langkah pertama Medvedev setelah memenangkan pemilu 2008 dengan dukungan Putin adalah menunjuk Putin sebagai perdana menteri—memberinya kekuasaan besar dalam pengambilan keputusan.

Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari Ke-1.256, Putin Tanggapi Trump yang Kecewa Padanya

Meski sebagian pihak di Barat menyambut baik kehadiran Medvedev, banyak juga yang melihatnya hanya sebagai pion Putin, yang digunakan untuk mengakali batasan masa jabatan presiden yang maksimal hanya dua periode dan tetap memegang kekuasaan de facto.

Pada 2008, Rusia mengirim pasukan ke Georgia, yang merusak hubungannya dengan negara-negara Barat.

Sebagai informasi, Rusia mengirim pasukan ke Georgia terutama untuk mendukung wilayah separatis Ossetia Selatan dan Abkhazia.

Rusia melihat Georgia berkeinginan kuat untuk bergabung dengan NATO, yang dinilai sebagai ancaman.

Medvedev mengklaim bahwa keputusan itu dibuat olehnya, namun seorang jenderal tinggi mengatakan bahwa langkah tersebut sudah direncanakan oleh Putin bahkan sebelum Medvedev dilantik.

Program modernisasi Medvedev dipenuhi pernyataan-pernyataan berani, namun kerap dikritik karena minim aksi nyata, sementara kekuasaan tetap di tangan Putin.

Karier Melonjak Berkat Putin

Perdana Menteri Rusia, Dmitry Medvedev (kiri) yang menjabat saat itu dan Presiden Rusia, Vladimir Putin (kanan) di Kremlin, Rusia pada 25 Desember 2019.
KARIER MEDVEDEV - Perdana Menteri Rusia, Dmitry Medvedev (kiri) yang menjabat saat itu dan Presiden Rusia, Vladimir Putin (kanan) di Kremlin, Rusia pada 25 Desember 2019. (President of Russia)

Medvedev, yang lahir di Leningrad (kini Saint Petersburg)—kota kelahiran Putin—berutang seluruh karier politiknya pada mantan agen KGB tersebut.

Putin membawanya ke Moskow setelah diangkat sebagai perdana menteri pada 1999.

Karier Medvedev cepat menanjak: ia menjadi ketua perusahaan gas raksasa Gazprom, menjabat kepala staf di Kremlin, dan Wakil Perdana Menteri Pertama.

Saat menjabat, ia sempat menyatakan bahwa ekonomi Rusia berada di "jalan buntu" dan membutuhkan reformasi mendesak.

Namun para kritikus menilai bahwa pernyataan seperti itu tidak berarti apa-apa selama Rusia masih dikendalikan oleh Putin, apalagi Medvedev sendiri pernah meremehkan anggapan bahwa ada perbedaan besar dalam visi mereka.

Meski saat menjabat ia sempat mendorong langkah-langkah antikorupsi, Medvedev sendiri kemudian dituduh melakukan korupsi pada 2017.

Mendiang pemimpin oposisi Alexei Navalny menuduhnya membangun kerajaan properti mewah dengan dana hasil penggelapan.

Navalny kemudian dicap sebagai “ekstremis” oleh pemerintah Rusia pada 2021.

Meski sempat diharapkan akan membalikkan tren penguatan kontrol negara dan pelemahan kebebasan sipil di era Putin sebelumnya, Medvedev ternyata tidak menunjukkan tanda-tanda akan memutus warisan tersebut secara radikal.

“Vladimir Vladimirovich Putin adalah politisi Rusia modern yang paling populer, paling berpengalaman, dan paling sukses,” ujar Medvedev ketika menjelaskan keputusannya untuk mundur dan memberikan jalan bagi Putin untuk kembali menjabat sebagai presiden pada 2012.

Perang Rusia-Ukraina Masih Berlangsung

Sebagai informasi, perang antara Rusia dan Ukraina kini telah memasuki tahun keempat.

Menurut situs Parliament.uk, Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada 24 Februari 2022. 

Pasukan Rusia menyerbu dari arah Belarus di utara, Rusia di timur, dan Krimea di selatan.

Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut operasi ini sebagai “operasi militer khusus” untuk melindungi rakyat Donbas dan “mendemiliterisasi serta denazifikasi Ukraina”.

Ia membantah adanya niat untuk menduduki wilayah Ukraina.

Namun, selama tiga tahun terakhir, Rusia terus melancarkan serangan besar-besaran, termasuk menargetkan infrastruktur sipil penting.

Total korban diperkirakan mencapai ratusan ribu dari kedua belah pihak, meski angkanya tidak bisa diverifikasi secara resmi.

Pada Oktober 2022, Rusia menandatangani perjanjian aneksasi terhadap Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia, meski wilayah-wilayah itu belum sepenuhnya berada di bawah kendali mereka.

Ukraina tetap bertekad merebut kembali seluruh wilayahnya, termasuk Krimea yang telah dianeksasi Rusia sejak 2014.

Hingga kini, belum ada langkah yang signifikan dalam upaya gencatan senjata.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved