Selasa, 7 Oktober 2025

Amnesty International Ungkap Praktik Perdagangan Manusia di Kompleks Penipuan Online di Kamboja

Amnesty International menerbitkan laporan berjudul "I Was Someone Else’s Property” pada hari ini, Kamis (26/6/2025).

Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
LAPORAN AMNESTY - Amnesty International menerbitkan laporan berjudul "I Was Someone Else’s Property” pada hari ini, Kamis (26/6/2025). Dalam laporan itu Amnesty mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang mencakup perbudakan, perdagangan manusia, pekerja anak, dan penyiksaan yang dilakukan oleh geng kriminal dalam skala besar di lebih dari 50 kompleks penipuan online di Kamboja. 

Amnesty International menemukan bahwa pemerintah Kamboja gagal menyelidiki pelanggaran HAM luas yang terjadi di kompleks penipuan meskipun telah diberi tahu berulang kali. 

“Otoritas Kamboja tahu apa yang terjadi di dalam kompleks-kompleks penipuan, tetapi mereka membiarkannya terus terjadi. Temuan kami menunjukkan pola kegagalan negara yang memungkinkan kejahatan ini berkembang dan memunculkan pertanyaan soal motif pemerintah,” kata Montse Ferrer, Direktur Riset Regional Amnesty International

Pemerintah mengeklaim menangani krisis ini melalui Komite Nasional untuk Memerangi Perdagangan Manusia (NCCT) dan berbagai satuan tugas kementerian, yang melakukan sejumlah "penyelamatan" bersama polisi. 

Namun, lebih dari dua pertiga kompleks yang diidentifikasi dalam laporan ini tetap beroperasi bahkan setelah penggerebekan dan “penyelamatan.” 

Di kompleks Botum Sakor, perdagangan manusia telah banyak dilaporkan media dan polisi beberapa kali melakukan intervensi, tetapi lokasi tersebut tetap terbuka.  

Kegagalan polisi sebagian besar berasal dari kolaborasi mereka dengan pengelola kompleks. Dalam banyak “penyelamatan”, polisi hanya bertemu manajer atau penjaga di gerbang dan mengambil korban yang meminta bantuan, namun bisnis tetap berlanjut seperti biasa. 

Dalam kasus lain, para penyintas mengatakan mereka dipukuli setelah upaya rahasia mereka menghubungi polisi terbongkar oleh bos.

Seorang penyintas asal Vietnam mengatakan kepada Amnesty bahwa polisi “bekerja untuk kompleks dan akan melaporkan permintaan bantuan kepada bos kompleks.” 

Mereka yang “diselamatkan” sering kemudian ditahan di pusat imigrasi dalam kondisi buruk selama berbulan-bulan—karena otoritas Kamboja tidak mengidentifikasi mereka sebagai korban perdagangan manusia dan memberi dukungan sesuai hukum internasional. 

Hal itu juga menimpa Daniel, asal Indonesia. Lepas dari kompleks penipuan BS04, dia dikirim ke kantor polisi setempat di Koh Kong selama empat hari sebelum dipindahkan ke kantor polisi provinsi Koh Kong, tempat ia ditahan selama tujuh hari. 

Ia kemudian ditahan di Kementerian Dalam Negeri di Phnom Penh selama 20 hari dan kemudian selama 20 hari lagi di pusat penahanan imigrasi Phnom Penh. 

Sementara itu, pihak berwenang justru menargetkan mereka yang mengungkap isu ini. Beberapa pembela HAM dan jurnalis telah ditangkap pemerintah Kamboja, dan media Voice of Democracy bahkan ditutup pada 2023 sebagai pembalasan atas peliputannya terkait krisis ini. 

Amnesty telah mengirim temuan ini ke NCCT, yang hanya memberikan data samar soal intervensi, tanpa menjelaskan apakah negara telah mengidentifikasi, menyelidiki, atau menuntut pelanggaran HAM selain pembatasan kebebasan.

Mereka juga tidak merespons daftar kompleks penipuan yang diberikan Amnesty. 

“Pemerintah Kamboja sebenarnya bisa menghentikan pelanggaran ini, tapi mereka memilih tidak melakukannya. Intervensi polisi tampaknya hanya sekadar ‘pertunjukan,’” kata Montse Ferrer. 

“Otoritas Kamboja harus memastikan tidak ada lagi pencari kerja yang diperdagangkan ke negara ini untuk menghadapi penyiksaan, perbudakan, atau pelanggaran HAM lainnya. Mereka harus segera menyelidiki dan menutup semua kompleks penipuan serta mengidentifikasi, membantu, dan melindungi para korban secara layak. Perbudakan berkembang ketika pemerintah memilih untuk menutup mata,” imbuhnya.

Pemerintah Indonesia Harus Proaktif Mendorong Kamboja Melakukan Investigasi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kisah yang dialami Daniel dan para penyintas lain tidak saja menunjukkan buruknya Kamboja dalam menangani masalah perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa di wilayahnya. 

Pemerintah Indonesia dapat memainkan peran penting untuk mendorong upaya bilateral dan regional mendesak Pemerintah Kamboja mengakhiri praktik keji ini dan melindungi para pencari kerja yang termasuk orang Indonesia. 

Pemerintah Indonesia harus secara proaktif menggunakan semua kewenangan yang mereka miliki untuk memaksa pemerintah Kamboja bertindak–termasuk namun tidak terbatas pada penyelidikan terhadap individu dan penuntutan atas kejahatan internasional berupa perbudakan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya. 

“Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi warga negara, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks ini, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah semakin banyak pencari kerja termasuk warga Indonesia yang menjadi korban,” kata Usman. 

Di sisi lain, Indonesia tetap memiliki posisi strategis di kawasan Asia Tenggara untuk menyerukan kepada pemerintah Kamboja dan mendorong proses regional agar ada tindakan tegas dan efektif dalam memberantas praktik perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa. 

“Solidaritas regional untuk melindungi para pencari kerja khususnya pencari kerja lintas kawasan seharusnya menjadi pendorong untuk menuntut akuntabilitas, dan menjadi landasan untuk mendorong kerja sama dalam memberantas kejahatan lintas negara yang sistemik ini,” ujar Usman. 

Baca juga: Amnesty Ungkap Praktik Mengerikan Perbudakan Pencari Kerja di Kamboja, WNI Ikut Jadi Korban

“Yang tak kalah pentingnya juga adalah Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kamboja memiliki sumber daya yang cukup untuk terus menyediakan informasi dan dukungan mendesak bagi para pencari kerja Indonesia yang mengalami kesulitan di Kamboja, termasuk menanggapi permintaan informasi dan bantuan dari korban perdagangan manusia sesuai dengan prinsip HAM,” sambungnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved