Selasa, 7 Oktober 2025

Amnesty International Ungkap Praktik Perdagangan Manusia di Kompleks Penipuan Online di Kamboja

Amnesty International menerbitkan laporan berjudul "I Was Someone Else’s Property” pada hari ini, Kamis (26/6/2025).

Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
LAPORAN AMNESTY - Amnesty International menerbitkan laporan berjudul "I Was Someone Else’s Property” pada hari ini, Kamis (26/6/2025). Dalam laporan itu Amnesty mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang mencakup perbudakan, perdagangan manusia, pekerja anak, dan penyiksaan yang dilakukan oleh geng kriminal dalam skala besar di lebih dari 50 kompleks penipuan online di Kamboja. 

Dalam riset selama 18 bulan, Amnesty mengunjungi semua kecuali satu dari 53 kompleks penipuan yang tersebar di 16 kota di Kamboja, serta 45 lokasi lain yang juga diduga kuat merupakan kompleks penipuan. 

Banyak bangunan dulunya merupakan kasino atau hotel yang diubah oleh geng kriminal—sebagian besar dari Tiongkok—setelah pemerintah Kamboja melarang perjudian daring pada 2019. 

Kompleks-kompleks ini tampak dirancang untuk mengurung orang, dilengkapi kamera pengawas, kawat berduri di sekeliling dinding, dan dijaga banyak petugas keamanan yang seringkali membawa tongkat listrik atau senjata api. Para penyintas menyatakan bahwa “melarikan diri adalah tidak mungkin.” 

Sebagian besar korban dipikat ke Kamboja melalui iklan pekerjaan palsu di media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Setelah diperdagangkan, mereka dipaksa menghubungi orang-orang melalui platform media sosial dan membangun percakapan untuk menipu mereka. 

Penipuan itu termasuk hubungan asmara palsu, investasi bodong, penjualan barang yang tidak pernah dikirim, atau membangun kepercayaan sebelum mengeksploitasi secara finansial, yang dikenal sebagai pig-butchering. 

Semua kecuali satu dari para penyintas yang diwawancarai merupakan korban perdagangan manusia, dan semuanya mengalami kerja paksa di bawah ancaman kekerasan. 

Dalam 32 kasus, Amnesty menyimpulkan bahwa para penyintas mengalami perbudakan sesuai definisi hukum internasional, di mana pengelola kompleks memiliki kontrol seolah-olah menjadi pemilik mereka. 

Beberapa juga mengatakan telah dijual ke kompleks lain atau menyaksikan orang lain dijual. Banyak pula yang diberi tahu bahwa mereka memiliki “utang” yang harus mereka lunasi dengan bekerja. 

Dari 58 penyintas, 40 mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, yang hampir selalu dilakukan oleh pengelola kompleks.

Beberapa kompleks memiliki “ruang gelap” khusus untuk menyiksa mereka yang tidak bisa bekerja atau melapor ke pihak berwenang. 

Penyintas sering menyebutkan adanya kematian di dalam atau sekitar kompleks; salah satunya mendengar suara tubuh jatuh di atap bangunan. Amnesty juga mengonfirmasi kematian seorang anak asal Tiongkok di sebuah kompleks. 

Penyintas bernama Siti mengaku melihat seorang warga Vietnam dipukuli selama sekitar 25 menit. 

“Mereka terus memukuli [orang Vietnam itu] sampai tubuhnya... ungu... lalu pakai tongkat listrik. Dipukul sampai dia tidak bisa berteriak, tidak bisa bangun... lalu bos bilang mereka tunggu sampai kompleks lain mau beli dia,” kata Siti. 

Dari sembilan anak yang diwawancarai, lima mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk. 

Sawat, seorang anak laki-laki Thailand berusia 17 tahun, dipukuli oleh beberapa manajer sebelum diberi tahu bahwa ia akan dilucuti pakaiannya dan dipaksa melompat dari gedung. 

Kegagalan Mencolok Pemerintah Kamboja

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved