Selasa, 7 Oktober 2025

Sosok Shimon Sakaguchi Ilmuan Jepang Peraih Nobel Kedokteran, Ubah Cara Pahami Sistem Kekebalan

Meski sempat berulang kali diragukan oleh komunitas ilmiah, Sakaguchi tidak pernah berhenti meneliti

Penulis: Eko Sutriyanto
Istimewa
PERAIH NOBEL KEDOKTERAN - Profesor Shimon Sakaguchi (74) menerima Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran bersama Mary E. Brunkow dan Fred Ramsdell diumumkan Senin ini (6/10/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JEPANG - Di balik sistem imun yang melindungi tubuh dari serangan penyakit, ada satu mekanisme ajaib yang mencegah 'tentara tubuh menyerang diri sendiri. 

Prinsip itu disebut toleransi imun perifer dan sosok di balik penemuan kunci mekanisme ini adalah Shimon Sakaguchi, ilmuwan asal Jepang yang baru saja meraih Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2025.

Lahir di Nagahama, Prefektur Shiga, pada 19 Januari 1951, Sakaguchi saat ini berafiliasi dengan Universitas Osaka, tempat ia memimpin berbagai riset imunologi eksperimental.

Nobel yang ia terima diberikan bersama dua ilmuwan lainnya, Mary E. Brunkow dan Fred Ramsdell, atas penemuan fundamental mengenai toleransi imun perifer sistem pengaman tubuh yang mencegah sel imun merusak jaringan tubuh sendiri.

“Penemuan mereka menjadi tonggak penting dalam memahami cara kerja sistem imun dan alasan mengapa tidak semua orang menderita penyakit autoimun berat,” ujar Olle Kämpe, Ketua Komite Nobel seperti dikutip dari situs Nobel, Senin (6/10/2025).

Baca juga: 4 Negara Nominasikan Donald Trump Raih Nobel Perdamaian, Terbaru Anggota ASEAN

Sebelum penemuan Sakaguchi, dunia sains percaya bahwa sistem imun 'belajar' mengenali diri dan non-diri hanya di kelenjar timus, lewat proses yang dikenal sebagai toleransi sentral.

Namun, pada 1995, Sakaguchi membalik paradigma itu. Ia menemukan adanya kelas baru sel imun yang berperan sebagai pengawas — sel T regulator (regulatory T cells) — yang bertugas memastikan sel imun tidak menyerang jaringan tubuh sendiri.

Beberapa tahun kemudian, pada 2001, Brunkow dan Ramsdell menemukan gen penting bernama Foxp3, yang mutasinya menyebabkan tikus dan manusia mengalami penyakit autoimun berat (IPEX syndrome).

Dua tahun setelah itu, Sakaguchi membuktikan bahwa gen Foxp3 inilah yang mengatur perkembangan sel T regulator — penghubung kunci antara dua penemuan besar dalam imunologi modern.

Sejak saat itu, riset mereka membuka jalan bagi pengembangan terapi baru untuk kanker, penyakit autoimun, dan bahkan transplantasi organ. Sejumlah terapi berbasis prinsip toleransi perifer kini tengah diuji secara klinis di berbagai negara.

Menemukan Cara Baru Melawan Penyakit

Dalam wawancara bersama Adam Smith dari Nobel Prize, beberapa jam setelah pengumuman penghargaan, Sakaguchi mengaku sangat terkejut.

Ia baru saja kembali dari konferensi ilmiah ketika menerima telepon kabar bahagia itu.

“Saya tidak menyangka. Tapi saya sangat senang bahwa kontribusi kami terhadap imunologi, terutama toleransi imunologis, diakui,” ujarnya.

Meski sempat berulang kali diragukan oleh komunitas ilmiah, Sakaguchi tidak pernah berhenti meneliti.

Ia yakin bahwa temuan tentang sel T yang mampu menekan perkembangan penyakit adalah kunci yang harus terus ditelusuri.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved