Senin, 6 Oktober 2025

Amnesty International Ungkap Praktik Perdagangan Manusia di Kompleks Penipuan Online di Kamboja

Amnesty International menerbitkan laporan berjudul "I Was Someone Else’s Property” pada hari ini, Kamis (26/6/2025).

Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
LAPORAN AMNESTY - Amnesty International menerbitkan laporan berjudul "I Was Someone Else’s Property” pada hari ini, Kamis (26/6/2025). Dalam laporan itu Amnesty mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang mencakup perbudakan, perdagangan manusia, pekerja anak, dan penyiksaan yang dilakukan oleh geng kriminal dalam skala besar di lebih dari 50 kompleks penipuan online di Kamboja. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International menerbitkan laporan berjudul "I Was Someone Else’s Property” pada hari ini, Kamis (26/6/2025).

Dalam laporan itu Amnesty mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang mencakup perbudakan, perdagangan manusia, pekerja anak, dan penyiksaan yang dilakukan oleh geng kriminal dalam skala besar di lebih dari 50 kompleks penipuan online di Kamboja.

Para penyintas dari berbagai negara termasuk Indonesia yang diwawancarai untuk laporan Amnesty, mengira mereka melamar dan akan mendapat pekerjaan yang layak. 

Namun, mereka justru diperdagangkan ke Kamboja, di mana mereka ditahan dalam kompleks seperti penjara dan dipaksa melakukan penipuan daring sebagai bagian dari ekonomi bayangan bernilai miliaran dolar yang telah menipu banyak orang di seluruh dunia.

“Dibohongi, diperdagangkan, dan diperbudak—para penyintas kompleks penipuan ini menggambarkan diri mereka terjebak dalam suatu mimpi buruk, dipaksa menjadi bagian dari jaringan kriminal yang tampaknya direstui pemerintah Kamboja,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, dalam keterangan tertulis, Kamis (26/6/2025).

Amnesty menyebut pencari kerja dari Asia dan berbagai belahan dunia ini dijebak dengan iming-iming pekerjaan bergaji tinggi, tetapi justru berakhir di kamp kerja yang mengerikan, dikelola oleh geng-geng terorganisir, di mana mereka dipaksa melakukan penipuan di bawah ancaman kekerasan.

“Riset Amnesty mengungkap betapa mengerikannya skala krisis ini, dan bagaimana otoritas Kamboja gagal menanganinya. Kegagalan ini justru memberi lampu hijau kepada jaringan kriminal yang jangkauannya sudah internasional, dengan jutaan orang menjadi korban penipuan,” kata Agnes.

Temuan Amnesty menunjukkan adanya koordinasi—dan kemungkinan kolusi—antara para pemimpin kompleks asal Tiongkok dan polisi Kamboja, yang gagal menutup kompleks-kompleks tersebut kendati terjadi pelanggaran HAM yang parah di sana. 

Penyintas yang diwawancarai Amnesty berasal dari Tiongkok, Thailand, Malaysia, Bangladesh, Vietnam, Indonesia, Taiwan, dan Ethiopia. Amnesty juga memiliki data ratusan korban lainnya dari India, Kenya, Nepal, Filipina, dan negara lain. 

Penyintas asal Indonesia: Tolong Saya, Saya Tidak Bisa Tidur

Seorang penyintas adalah Daniel, asal Indonesia. Dia adalah satu dari setidaknya 45 penyintas yang diwawancarai Amnesty yang mendengar, menyaksikan, atau menjadi korban penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya saat berada di dalam kompleks penipuan online. 

“Tolong… saya tidak bisa tidur,” demikian salah satu dari pesan-pesan yang dikirim oleh Daniel kepada Amnesty pada tahun 2025. Dia meminta bantuan agar bisa keluar dari KK01, yaitu sebutan untuk salah satu kompleks penipuan di Provinsi Koh Kong, Kamboja

Tidak seperti para penyintas lain yang terperdaya oleh iming-iming mendapat pekerjaan sebagai pramusaji restoran, pegawai hotel atau staf di kasino, Daniel menyadari bahwa dia ke Kamboja untuk bekerja di industri penipuan, tetapi akhirnya turut menjadi korban perdagangan manusia dan perbudakan di tempatnya bekerja.    

Orang-orang yang memasuki industri penipuan dengan penuh kesadaran tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan juga dapat menjadi korban pelanggaran lain yang terjadi di dalam kompleks tersebut, seperti kerja paksa, penyiksaan, dan perlakuan buruk atau perbudakan lainnya.  

Daniel pernah dibebaskan dari suatu kompleks penipuan di Kamboja pada tahun 2023. 

Meskipun sepenuhnya menyadari kekerasan dan iklim ketakutan yang ada di kompleks tersebut, Daniel mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia dengan sukarela kembali bekerja di kompleks penipuan lain karena ia membutuhkan uang dan tidak mendapat pekerjaan di negara asalnya.  

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved