Sabtu, 4 Oktober 2025

Angka Pernikahan di Tiongkok Relatif Rendah, Bisnis Perjodohan Menjamur

Angka pernikahan terus menurun di China sejak 2014, berikut sejumlah faktornya hingga disebut membuat bisnis perjodohan menjamur.

Editor: Wahyu Aji
Dokumentasi Tribunnews.com
ANGKA PERNIKAHAN - Data resmi menunjukkan, jumlah pasangan China yang menikah pada paruh pertama tahun ini turun ke level terendah sejak 2013. Penyebabnya adalah semakin banyak anak muda yang menunda pernikahan di tengah ekonomi yang melambat dan kenaikan biaya hidup. 

Di usianya yang sekarang, masalahnya bukan pada kurangnya keinginan untuk menikah, melainkan sulitnya menemukan seseorang yang cocok.

Dia menekankan bahwa masalahnya bukan pada penampilan, pendapatan, pendidikan, atau prestasinya, tetapi terbatasnya jumlah pria lajang seusianya yang memiliki kondisi baik. Kebanyakan dari pria ini lebih menyukai wanita yang lebih muda. 

Alternatifnya adalah menikah dengan pria yang sudah bercerai, namun banyak dari mereka yang sudah memiliki anak, dan menjadi ibu tiri memerlukan persiapan mental yang signifikan.

Dia mempertanyakan apakah keluarga laki-laki tersebut akan menganggap dia mampu menjadi ibu tiri yang baik, mengingat dia sendiri belum pernah menikah atau memiliki anak. 

“Jadi, ketika Anda masih muda dan punya pilihan, lebih baik menikah. Risikonya tidak sebesar yang Anda bayangkan,” kata perempuan itu dikutip dari Widelens Report, Jumat, 7 Februari 2025.

Ekspektasi Materialistis

Seorang perempuan yang belajar di luar negeri merangkum ekspektasi perjodohan saat ini di Tiongkok.

Ia mengamati bahwa baik pria maupun wanita memiliki kriteria khusus untuk calon pasangannya. Laki-laki biasanya menginginkan perempuan yang punya pekerjaan, bisa mengatur tugas-tugas rumah tangga, merawat orang tua, membesarkan anak, menuntut mahar yang rendah, menyumbang cicilan rumah, berpenampilan menarik, dan menghidupi diri sendiri tanpa meminta uang. 

Di sisi lain, perempuan umumnya mencari laki-laki yang memiliki tinggi badan minimal 1,75 meter, memiliki pekerjaan tetap, berpenampilan baik, dan lebih disukai memiliki gelar sarjana, rumah, dan mobil. Mereka juga lebih menyukai laki-laki tanpa saudara kandung, dan idealnya jika orang tua laki-laki tersebut mempunyai uang pensiun.

Dinamika ini menyoroti pola pikir banyak lajang yang lebih tua selama perjodohan. Beberapa netizen mengatakan bahwa di Tiongkok, cinta tidak lagi menjadi prioritas dalam negosiasi, tawar-menawar, dan transaksi bisnis. 

“Di Tiongkok, tidak ada cinta, yang ada hanyalah negosiasi, tawar-menawar, dan transaksi bisnis,” kata mereka.

Mereka membandingkannya dengan anak muda di luar negeri yang jatuh cinta dengan membicarakan minat, karier, impian, dan olahraga yang mereka anggap sebagai cinta sejati. Yang lain juga menyatakan hal yang sama, “Ini semua hanyalah kesepakatan bisnis.”

Banyak perempuan Tiongkok menetapkan standar materialistis yang tinggi terhadap pasangannya.

Namun, ketika perekonomian Tiongkok melemah, PHK dan pemotongan gaji terus meningkat.

Beberapa pemilik bisnis kini mengantarkan makanan atau berkendara untuk layanan ride-hailing. Di daerah pedesaan, laki-laki muda seringkali menghadapi kondisi ekonomi yang lebih sulit dibandingkan laki-laki di perkotaan.

Ketidakseimbangan gender dan ekspektasi materialistis perempuan telah menjadikan pernikahan sebagai tantangan bagi laki-laki.

Hal ini disebabkan oleh bertahun-tahun pemerintah Tiongkok mengikis budaya tradisional dan mempromosikan materialisme, ditambah dengan kemerosotan ekonomi yang parah. Masyarakat awam semakin sulit bertahan hidup di tengah iklim ekonomi yang sulit ini.

SUMBER

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved