Minggu, 5 Oktober 2025

Mengapa Trump ingin mencaplok Greenland, pulau terbesar dunia setelah Papua?

Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, mengulangi niatnya untuk menguasai Greenland, wilayah Arktik yang dikuasai Denmark.

BBC Indonesia
Mengapa Trump ingin mencaplok Greenland, pulau terbesar dunia setelah Papua? 

Pada 1867, setelah membeli Alaska dari Rusia, Menteri Luar Negeri AS William H Seward memimpin negosiasi untuk membeli Greenland dari Denmark, tetapi gagal mencapai kesepakatan apa pun.

Pada 1946, AS menawarkan untuk membayar US$100 juta (setara dengan US$1,2 miliar saat ini atau sekitar Rp19,5 triliun) untuk mengendalikan Greenland dengan dalih bahwa wilayah tersebut penting bagi keamanan nasional.

Namun, pemerintah Denmark menolaknya.

Trump juga mencoba membeli Greenland selama masa jabatan pertamanya. Baik Denmark maupun pemerintah Greenland menolak proposal tahun 2019, dengan mengatakan: "Greenland tidak untuk dijual."

Bagaimana reaksi Inggris, Rusia, dan Uni Eropa?

Trump menolak untuk mengesampingkan penggunaan kekuatan militer atau ekonomi untuk mengambil alih Greenland dalam beberapa hari terakhir.

Dia juga berulang kali mengangkat isu tersebut sejak masa jabatan pertamanya sebagai presiden.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan Rusia memantau situasi dengan saksama.

Peskov mengatakan Arktik berada dalam "lingkup kepentingan nasional dan strategis Rusia dan tertarik pada perdamaian dan stabilitas di sana"

 

Dmitry Peskov mengatakan klaim Trump adalah masalah AS, Denmark, dan negara-negara lain. Akan tetapi, menurutnya, Rusia mengamati situasi "yang agak dramatis" seputar pernyataan Trump.

"Kami hadir di zona Arktik, dan kami akan terus hadir di sana," katanya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, mengatakan kepada BBC bahwa kata-kata Trump tidak selalu sesuai dengan tindakannya.

Ketika ditanya apakah AS harus diizinkan untuk membeli Greenland, Lammy berkata: "Saya pikir kita tahu dari masa jabatan pertama Donald Trump bahwa intensitas retorikanya dan ketidakpastian terkadang dari apa yang dia katakan dapat mengganggu stabilitas.

"Dia melakukannya dengan NATO. Namun pada kenyataannya, dalam praktiknya, ia mengirim lebih banyak pasukan ke Eropa di bawah pemerintahannya."

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved