Sabtu, 4 Oktober 2025

Geger Politik Prancis, Perebutan Kursi Perdana Menteri Makin Panas, Bagaimana Macron Bersikap?

Setelah kampanye terpendek dalam sejarah modern, rakyat Prancis memberikan suara yang spektakuler untuk menahan gelombang dukungan dari sayap kanan.

|
Kolase Tribunnews.com/Tangkap Layar Twitter/X
Setelah kampanye terpendek dalam sejarah modern, rakyat Prancis memberikan suara yang spektakuler untuk menahan gelombang dukungan dari sayap kanan. 

TRIBUNNEWS.COM - Situasi politik di Prancis memanas, perebutan kursi Perdana Menteri begitu sengit.

Dalam satu bulan yang terakhir, sedang diadakan pemilihan anggota parlemen di semua negara Uni Eropa.

Selama lebih dari 50 tahun, setiap kali Prancis mengadakan pemilihan parlemen, para pemilih akan tahu keesokan paginya partai mana yang akan berkuasa dan dengan agenda politik apa.

Kali ini berbeda.

Ini berawal dari Presiden Emmanuel Macron yang mengumumkan pemilihan umum dadakan yang mengejutkan.

Setelah kampanye terpendek dalam sejarah modern, rakyat Prancis memberikan suara yang spektakuler untuk menahan gelombang dukungan dari sayap kanan.

Lanskap politik yang dihasilkan terbagi dan hasilnya rumit, The Guardian melaporkan.

Di Prancis, partai yang memperoleh suara terbanyak adalah Rassemblement National (RN, National rally), sebuah partai sayap kanan dengan kebijakan ultra-konservatif dan xenofobia, serta anti-imigrasi.

Ia menang melawan partai-partai lain, termasuk partai Presiden Prancis Macron, yang menyebabkan kekacauan besar

Tepat setelah hasil pemilu, Macron mengumumkan bahwa, terkait hasil pemilu, ia memutuskan untuk membubarkan majelis nasional Prancis.

Artinya, semua anggota parlemen Prancis harus dipilih kembali.

Baca juga: Partai Macron Kalah Telak, Prancis Bakal Berubah Haluan

Keputusan ini benar-benar mengguncang politik Prancis.

Tidak ada yang benar-benar mengerti mengapa Macron melakukan itu, karena saat ini dia memiliki mayoritas parlemen, tetapi pasti akan kehilangannya mengingat popularitas sayap kanan akhir-akhir ini.

Jajak pendapat memang menunjukkan bahwa RN akan memperoleh kemenangan telak, dan bahkan mungkin memperoleh mayoritas absolut (lebih dari 50 persen anggota parlemen), sehingga mereka berada dalam posisi untuk membentuk pemerintahan dan benar-benar menjalankan negara.

Karena takut hal ini terjadi (RN dianggap sebagai partai yang rasis dan mengancam demokrasi), partai-partai sayap kiri memutuskan untuk bersekutu dan membentuk koalisi (NFP, New Popular Front) untuk mencoba dan mengalahkan RN.

Pada putaran pertama pemilihan umum pada tanggal 30 Juni, RN kembali memimpin perolehan suara.

Untuk mencegah mereka menang, NFP dan, pada tingkat yang lebih rendah, koalisi Macron memutuskan untuk membuat beberapa pengaturan lokal.

Dan bertentangan dengan semua ekspektasi, pada putaran kedua dan terakhir pemilihan umum pada tanggal 7 Juli, NFP menang.

RN tidak hanya tidak memperoleh suara mayoritas, tetapi mereka juga berada di posisi ketiga.

lihat foto3 kekuatan politik utama saat itu berkampanye untuk pemilu Prancis: 1. RN (sayap kanan), 2. Koalisi Macron (sayap kanan), 3. NFP (sayap kiri).
Merah: NFP (sayap kiri). Orange: Koalisi Macron. Biru: conservative right. Ungu: RN (sayap kanan)
Setelah kampanye terpendek dalam sejarah modern, rakyat Prancis memberikan suara yang spektakuler untuk menahan gelombang dukungan dari sayap kanan.

* Merah: NFP

* Orange: Macron's coalition

* Biru: conservative right

* Ungu: RN

Dapat dilihat dari bagan di atas, pendukung sayap kiri bersukacita karena RN dikalahkan (ini merupakan kelegaan besar). sementara pendukung RN kesal dan kecewa.

Bagaimana Macron akan bersikap?

Kini situasi politik di Prancis masih belum jelas: NFP mengklaim bahwa Macron harus mencalonkan perdana menteri dari NFP, karena mereka menang.

Sementara partai-partai lain mengklaim bahwa Macron tidak perlu mencalonkan perdana menteri karena NFP juga tidak memperoleh mayoritas absolut.

Secara konstitusional, ada kemungkinan bagi suatu kelompok di parlemen untuk memerintah tanpa mayoritas absolut.

Namun, untuk melakukannya, kelompok tersebut harus memastikan bahwa kekuatan oposisi tidak bersatu untuk membentuk mayoritas 289 suara untuk menolak mereka.

Sidang pertama parlemen baru akan berlangsung pada tanggal 18 Juli 2024 mendatang.

Mungkin hanya pada saat itulah kemungkinan terbentuknya koalisi akan menjadi sepenuhnya jelas.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved