Ibu bunuh anak kandung di Bekasi karena 'bisikan gaib' terindikasi skizofrenia - 'Cerminan kegagalan deteksi dini kasus gangguan jiwa'
Kasus pembunuhan seorang anak di Bekasi oleh ibu kandungnya, yang terindikasi mengidap skizofrenia, dinilai mencerminkan kegagalan…
“Sedih juga di tahun 2024 masih terjadi seperti itu di kota yang tidak jauh dari Jakarta. Saya bisa bayangkan yang berada di daerah-daerah yang jauh, pedih sekali,” kata Bagus.
Belum lagi pengaruh stigma-stigma yang melekat pada ODGJ. Banyak yang menolak mengakui dirinya atau keluarganya mengidap gangguan jiwa. Atau ketika gejala itu disadari oleh orang terdekatnya, banyak yang sungkan mengutarakan demi menghindari konflik keluarga.
“Apalagi kalau bisikan itu terkait keagamaan, terkadang itu malah dianggap sebagai spiritual awakening [kesadaran spiritual]. Itu akhirnya membuat orang-orang terlambat meresponsnya,” ujar Bagus.
Situasi itu kemudian diperburuk oleh ketersediaan layanan kesehatan jiwa yang belum memadai.
Pada 2022, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa baru 50% dari 10.321 puskesmas di Indonesia yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Bahkan masih ada empat provinsi yang belum memiliki Rumah Sakit Jiwa.
Indonesia juga masih kekurangan psikiater. Hanya ada 1.053 dokter spesialis kedokteran jiwa dan 2.800 psikolog klinis berdasarkan data Riskesdas 2018.
Pemerintah, kata Bagus, bahkan belum memiliki saluran komunikasi (hotline) yang ajek sebagai tempat masyarakat berkonsultasi ketika menghadapi situasi seperti ini.
Sejauh ini, pemerintah memang telah mewajibkan puskesmas untuk mendata ODGJ di jangkauan wilayahnya. Biasanya, upaya itu dibantu oleh petugas pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) untuk mendeteksi dari rumah ke rumah.
“Tapi pada kenyataannya masih banyak kendala di lapangan. Tidak semua puskesmas se-proaktif di Jakarta untuk mengorganisir kader ke rumah-rumah, dan juga apakah pelayanan kesehatannya mampu merespons,” jelas Bagus.
“Kadang-kadang petugas puskesmas, dokter umum saja masih bilang, ‘Ini mah jangan minum obat terus menerus. Sebaiknya mendekatkan diri kepada Tuhan, dirukiyah’. Masih ada komentar-komentar seperti itu dari petugas kesehatan. Itu yang menjadi pekerjaan rumah besar,” sambungnya, berkaca dari kasus-kasus yang kerap dihadapi KPSI.
Beragam persoalan itu pada akhirnya membuat sebagian orang memilih mencari pertolongan kepada dukun, ketimbang berobat secara medis.
Bahkan ada pula yang memilih memasung anggota keluarga mereka. Menurut catatan Kementerian Kesehatan, sebanyak 4.302 pengidap gangguan jiwa dipasung hingga triwulan kedua 2022.
'Seakan-akan pasien skizofrenia kejam-kejam'
Hal yang paling menyedihkan dari kegagalan deteksi dini yang berujung pada kasus kriminal semacam ini, kata Bagus, adalah para pengidap skizofrenia menjadi kerap dianggap “berbahaya”.
Menurutnya, ini menjadi semacam “pukulan berat” di tengah “perjuangan yang melelahkan” untuk menghapus stigma terhadap pengidap skizofrenia.
“Stigmanya menjadi sangat berat seakan-akan pasien skizofrenia kejam-kejam semua, padahal kami adalah pasien biasa yang dengan pendekatan humanis bisa berperan dengan orang lain, dan tragedi-tragedi seperti ini tidak seharusnya terjadi lagi,” ujar Bagus.
Dihubungi terpisah, Dokter spesialis kejiwaan, Lahargo Kembaren juga mengatakan pelabelan semacam itu tidak benar.
“Hanya sebagian kecil yang melakukan kekerasan entah itu pada dirinya sendiri, benda atau pun orang lain. Lebih banyak orang yang bukan skizofrenia yang melakukan kekerasan itu,” kata Lahargo.
“Perilaku kekerasan yang dilakukan dengan orang dengan skizofrenia itu terlebih karena gejala-gejalanya yang tidak tertangani dengan baik, seperti ada halusinasi yang menyuruh dia melakukan hal-hal yang tidak baik dan tidak wajar.”
Padahal menurut Lahargo, orang dengan skizofrenia dapat berfungsi dengan baik apabila mendapatkan penanganan medis yang tepat.
Sayangnya, banyak orang yang mengalami gejala-gejala gangguan jiwa berat justru mencari pertolongan non-medis lebih dulu seperti “berobat” ke dukun, tabib, dan lain-lain sehingga penanganannya menjadi tertunda.
Apa itu skizofrenia?
Dokter Lahargo mengatakan skizofrenia adalah gangguan medis yang membuat pengidapnya kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.
Skizofrenia tergolong dalam gangguan jiwa berat.
Ciri utama dari skizofrenia adalah adanya halusinasi, gangguan panca indra, hingga mengalami delusi atau waham.
Menurut Lahargo, kondisi ini terjadi ketika zat kimia di otak, neurotransmitter, tidak stabil dan tidak seimbang.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkannya, mulai dari faktor biologi seperti genetik, faktor psikologis seperti mengalami trauma yang mengganggu kondisi mental seseorang, hingga faktor sosial yang memantik.
Dia menekankan bahwa skizofrenia bukan gangguan gaib atau gangguan spiritual.
"Skizofrenia harus diobati, itu sudah jelas bahwa gejala akan berkurang dan hilang. Kedua juga psikoterapi, berbicara dengan psikoterapis yang bisa membantu mengubah sudut pandang dan pola hidup sehat untuk menjadi lebih baik," jelas Lahargo.
Mereka juga bisa menjalani rehabilitasi psikososial, yaitu latihan-latihan untuk membantu mereka kembali beraktivitas sosial dan bekerja.
"Kalau itu bisa dilakukan, orang dengan skizofrenia bisa pulih dan berfungsi dengan baik," kata Lahargo.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.