Minggu, 5 Oktober 2025

Ibu bunuh anak kandung di Bekasi karena 'bisikan gaib' terindikasi skizofrenia - 'Cerminan kegagalan deteksi dini kasus gangguan jiwa'

Kasus pembunuhan seorang anak di Bekasi oleh ibu kandungnya, yang terindikasi mengidap skizofrenia, dinilai mencerminkan kegagalan…

BBC Indonesia
Ibu bunuh anak kandung di Bekasi karena 'bisikan gaib' terindikasi skizofrenia - 'Cerminan kegagalan deteksi dini kasus gangguan jiwa' 

Kasus pembunuhan seorang anak di Bekasi oleh ibu kandungnya, yang terindikasi mengidap skizofrenia, dinilai mencerminkan kegagalan deteksi dini kasus-kasus gangguan jiwa.

Pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bagus Utomo mengatakan tragedi semacam ini semestinya bisa dicegah andai indikasi gangguan jiwa itu dapat dideteksi dan ditangani lebih dini.

Ini bukanlah kasus pembunuhan pertama di mana pelakunya mengidap gangguan jiwa berat seperti skizofrenia.

Kasus semacam ini pun dikhawatirkan akan memperburuk stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang mengidap gangguan jiwa berat.

Padahal, kata Bagus, akar masalahnya ada pada terlambatnya deteksi dini dan penanganan medis terhadap pengidapnya.

“Ini kan kasus yang sebenarnya terlambat ditangani, terlambat diobati. Tapi akhirnya orang jadi takut misalnya, ‘Kalau saya menikah dengan orang skizofrenia jadi seperti ini’. Ketika mereka mau bekerja, menjalani pendidikan, jadi dianggap seperti itu. Kesannya jadi sangat keji, padahal itu di luar kendali diri dia,” kata Bagus kepada BBC News Indonesia pada Minggu (10/03).

Pada Kamis (07/03) seorang ibu berinisial SNF, 26, menusuk anak kandungnya yang berusia lima tahun, AAMS, sebanyak 20 kali hingga tewas.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bekasi AKBP Muhammad Firdaus mengatakan SNF mengalami halusinasi dan mengaku mendapat “bisikan gaib” untuk melakukan hal itu.

“Berdasarkan keterangan suaminya, tersangka ini sudah dua bulan terakhir menunjukkan prilaku aneh, tapi belum ada tindakan [deteksi dan pemeriksaan gangguan jiwa],” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bekasi AKBP Muhammad Firdaus kepada BBC News Indonesia.

Baru setelah kejadian ini, SNF terindikasi mengidap skizofrenia berdasarkan asesmen psikologi yang melibatkan psikolog dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bekasi.

SNF selanjutnya akan dirujuk untuk diobservasi dan ditangani lebih lanjut oleh psikiater.

Dokter spesialis kejiwaan sekaligus pengurus Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren mengatakan tindak kriminal yang dilakukan oleh penderita gangguan jiwa berat terjadi karena gejala-gejala yang mereka alami tidak diobati.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, hampir 430.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Itu setara dengan 1,8 per 1.000 penduduk.

Namun, upaya pencegahan dan penanganan gangguan jiwa disebut KSPI “masih belum ideal”. Akses terhadap layanan kesehatan jiwa masih sangat terbatas dan belum merata di setiap daerah.

BBC News Indonesia telah menghubungi dan menyerahkan rincian pertanyaan kepada Kementerian Kesehatan mengenai ini, namun belum ada jawaban hingga Senin (11/03/ pukul 10.30 WIB.

Bagaimana kronologi kasus ini?

Berdasarkan keterangan polisi, kasus ini terungkap pada Kamis (07/03) ketika MAS (suami dari SNF) sedang berada di Medan, Sumatera Utara, karena ada pekerjaan di sana.

MAS sempat putus kontak dengan istrinya, dan merasa heran dengan jawaban SNF ketika ditanyai soal anaknya.

"Posisi suami masih di Medan, jam 10.00 WIB dihubungi baru diangkat, nah ditanya ke mana anak tersebut. Jadi dia berhalusinasi lagi dia mengatakan anaknya 'sudah pergi jauh',” terang Firdaus.

MAS kemudian mengutus saksi berinisial NA untuk mengecek kondisi anak istrinya. Ketika NA mendatangi rumah kontrakan keluarga itu di Bekasi Utara, korban sudah tergeletak tidak bernyawa di kasur.

Polisi kemudian menangkap SNF pada Jumat (08/03) dan menetapkannya sebagai tersangka. Dalam proses pemeriksaan, SNF bersikukuh bahwa dia menusuk anaknya karena mengalami halusinasi dan mendengar “bisikan gaib”.

“Jadi karena pengakuannya ini mendapat bisikan ‘gaib’, sewaktu bertemu dengan suaminya [setelah pembunuhan terjadi], dia juga menyampaikan ke suaminya, ‘Ayah akan nyusul Abdullah’,” kata Firdaus.

Ketika dihubungi oleh BBC News Indonesia pada Minggu, Firdaus juga mengungkap keterangan suami bahwa SNF telah “berperilaku aneh” sejak dua bulan terakhir.

SNF disebut pernah merasa mendapat bisikan bahwa dia harus pergi ke Mekkah. Dia pun pergi ke bandara bersama dua anaknya.

“Saat itu dicek petugas tapi tidak ada paspor dan tiket. Di situ lah pihak keamanan bandara menelepon suaminya, suaminya kaget karena tidak ada pemberitahuan kepada suaminya. Lalu difasilitasi oleh suaminya untuk kembali ke Bekasi,” papar Firdaus.

Meski ada gelagat itu, Firdaus mengatakan tidak ada penanganan lebih lanjut terhadap kondisi itu.

SNF kini terancam hukuman 15 tahun penjara.

Firdaus mengatakan pihaknya sejauh ini akan tetap memproses hukum kasus pembunuhan oleh SNF.

Namun polisi masih menanti hasil pemeriksaan lebih lanjut oleh psikiater mengenai kondisi kejiwaan SNF.

Jika SNF benar-benar didiagnosis mengidap gangguan jiwa, maka informasi itu akan menjadi salah satu pertimbangan yang menentukan kelanjutan perkara ini.

Ini bukanlah kasus pertama di mana pengidap gangguan jiwa berat seperti skizofrenia menjadi pelakunya.

Pada 26 September 2023, seorang laki-laki membunuh perempuan bernama Fresa Danella di dektar Mal Central Park, Jakarta Barat. Pelaku berinisial AA itu kemudian didiagnosis menderita skizofrenia paranoid.

Penyidikan kasus itu kemudian dihentikan.

Pada 2020 di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, seorang anak membunuh ibu kandungnya menggunakan cangkul.

Polisi kemudian menghentikan penyidikan kasus itu karena pelaku dinyatakan mengalami gangguan jiwa.

Kasus serupa lainnya terjadi di Tulungagung pada 2018, ketika seorang laki-laki bernama Matal membunuh pasangan suami istri.

Hasil pemeriksaan kejiwaan menunjukkan bahwa Matal menderita skizofrenia paranoid. Sama seperti dua kasus lainnya tadi, penyidikan kasus ini akhirnya dihentikan.

Itu karena pengidap gangguan jiwa tidak bisa bertanggung jawab secara hukum sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

"Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana," bunyi pasal tersebut.

Penanganan kesehatan jiwa masih jauh dari ideal

Bagus Utomo dari KPSI mengatakan bahwa kasus ini merupakan imbas dari lemahnya sistem kesehatan di Indonesia untuk mendeteksi masyarakat yang terindikasi mengidap gangguan jiwa.

Berkaca dari apa yang terjadi di Bekasi, idealnya orang yang menunjukkan indikasi gangguan jiwa semestinya segera ditangani secara medis.

Namun kenyataan di lapangan terkait penanganan masalah kesehatan jiwa masih jauh dari ideal.

Dia memahami bahwa masih banyak masyarakat awam yang belum menyadari apa yang digambarkan sebagai “gelagat aneh” itu bisa jadi merupakan indikasi gangguan jiwa.

“Ketika menghadapi situasi itu, biasanya karena kurang pengetahuan kita hanya akan bingung saja. Apa yang terjadi sebenarnya? Tidak langsung tergambar bahwa ini jangan-jangan masalah kesehatan jiwa. Kesadarannya belum sampai situ. Kalau ada gejala lagi kedua kalinya biasanya orang masih terkesima dan bertanya-tanya, ini apa?” kata Bagus.

Fakta bahwa kasus ini terjadi di Kota Bekasi, yang notabene termasuk kota besar, juga memicu kekhawatiran soal sistem penanganan kesehatan jiwa.

Semestinya menurut Bagus, layanan kesehatan jiwa lebih mudah diakses.

“Sedih juga di tahun 2024 masih terjadi seperti itu di kota yang tidak jauh dari Jakarta. Saya bisa bayangkan yang berada di daerah-daerah yang jauh, pedih sekali,” kata Bagus.

Belum lagi pengaruh stigma-stigma yang melekat pada ODGJ. Banyak yang menolak mengakui dirinya atau keluarganya mengidap gangguan jiwa. Atau ketika gejala itu disadari oleh orang terdekatnya, banyak yang sungkan mengutarakan demi menghindari konflik keluarga.

“Apalagi kalau bisikan itu terkait keagamaan, terkadang itu malah dianggap sebagai spiritual awakening [kesadaran spiritual]. Itu akhirnya membuat orang-orang terlambat meresponsnya,” ujar Bagus.

Situasi itu kemudian diperburuk oleh ketersediaan layanan kesehatan jiwa yang belum memadai.

Pada 2022, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa baru 50% dari 10.321 puskesmas di Indonesia yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Bahkan masih ada empat provinsi yang belum memiliki Rumah Sakit Jiwa.

Indonesia juga masih kekurangan psikiater. Hanya ada 1.053 dokter spesialis kedokteran jiwa dan 2.800 psikolog klinis berdasarkan data Riskesdas 2018.

Pemerintah, kata Bagus, bahkan belum memiliki saluran komunikasi (hotline) yang ajek sebagai tempat masyarakat berkonsultasi ketika menghadapi situasi seperti ini.

Sejauh ini, pemerintah memang telah mewajibkan puskesmas untuk mendata ODGJ di jangkauan wilayahnya. Biasanya, upaya itu dibantu oleh petugas pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) untuk mendeteksi dari rumah ke rumah.

“Tapi pada kenyataannya masih banyak kendala di lapangan. Tidak semua puskesmas se-proaktif di Jakarta untuk mengorganisir kader ke rumah-rumah, dan juga apakah pelayanan kesehatannya mampu merespons,” jelas Bagus.

“Kadang-kadang petugas puskesmas, dokter umum saja masih bilang, ‘Ini mah jangan minum obat terus menerus. Sebaiknya mendekatkan diri kepada Tuhan, dirukiyah’. Masih ada komentar-komentar seperti itu dari petugas kesehatan. Itu yang menjadi pekerjaan rumah besar,” sambungnya, berkaca dari kasus-kasus yang kerap dihadapi KPSI.

Beragam persoalan itu pada akhirnya membuat sebagian orang memilih mencari pertolongan kepada dukun, ketimbang berobat secara medis.

Bahkan ada pula yang memilih memasung anggota keluarga mereka. Menurut catatan Kementerian Kesehatan, sebanyak 4.302 pengidap gangguan jiwa dipasung hingga triwulan kedua 2022.

'Seakan-akan pasien skizofrenia kejam-kejam'

Hal yang paling menyedihkan dari kegagalan deteksi dini yang berujung pada kasus kriminal semacam ini, kata Bagus, adalah para pengidap skizofrenia menjadi kerap dianggap “berbahaya”.

Menurutnya, ini menjadi semacam “pukulan berat” di tengah “perjuangan yang melelahkan” untuk menghapus stigma terhadap pengidap skizofrenia.

“Stigmanya menjadi sangat berat seakan-akan pasien skizofrenia kejam-kejam semua, padahal kami adalah pasien biasa yang dengan pendekatan humanis bisa berperan dengan orang lain, dan tragedi-tragedi seperti ini tidak seharusnya terjadi lagi,” ujar Bagus.

Dihubungi terpisah, Dokter spesialis kejiwaan, Lahargo Kembaren juga mengatakan pelabelan semacam itu tidak benar.

“Hanya sebagian kecil yang melakukan kekerasan entah itu pada dirinya sendiri, benda atau pun orang lain. Lebih banyak orang yang bukan skizofrenia yang melakukan kekerasan itu,” kata Lahargo.

“Perilaku kekerasan yang dilakukan dengan orang dengan skizofrenia itu terlebih karena gejala-gejalanya yang tidak tertangani dengan baik, seperti ada halusinasi yang menyuruh dia melakukan hal-hal yang tidak baik dan tidak wajar.”

Padahal menurut Lahargo, orang dengan skizofrenia dapat berfungsi dengan baik apabila mendapatkan penanganan medis yang tepat.

Sayangnya, banyak orang yang mengalami gejala-gejala gangguan jiwa berat justru mencari pertolongan non-medis lebih dulu seperti “berobat” ke dukun, tabib, dan lain-lain sehingga penanganannya menjadi tertunda.

Apa itu skizofrenia?

Dokter Lahargo mengatakan skizofrenia adalah gangguan medis yang membuat pengidapnya kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.

Skizofrenia tergolong dalam gangguan jiwa berat.

Ciri utama dari skizofrenia adalah adanya halusinasi, gangguan panca indra, hingga mengalami delusi atau waham.

Menurut Lahargo, kondisi ini terjadi ketika zat kimia di otak, neurotransmitter, tidak stabil dan tidak seimbang.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkannya, mulai dari faktor biologi seperti genetik, faktor psikologis seperti mengalami trauma yang mengganggu kondisi mental seseorang, hingga faktor sosial yang memantik.

Dia menekankan bahwa skizofrenia bukan gangguan gaib atau gangguan spiritual.

"Skizofrenia harus diobati, itu sudah jelas bahwa gejala akan berkurang dan hilang. Kedua juga psikoterapi, berbicara dengan psikoterapis yang bisa membantu mengubah sudut pandang dan pola hidup sehat untuk menjadi lebih baik," jelas Lahargo.

Mereka juga bisa menjalani rehabilitasi psikososial, yaitu latihan-latihan untuk membantu mereka kembali beraktivitas sosial dan bekerja.

"Kalau itu bisa dilakukan, orang dengan skizofrenia bisa pulih dan berfungsi dengan baik," kata Lahargo.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved