Jumat, 3 Oktober 2025
Deutsche Welle

Melihat Penderitaan Pekerja Migran, Perdalam Studi Migrasi di Negeri Orang

Berawal dari menggemari Doraemon dan drakor, Retno Widyastuti memulai studi di luar negeri, di mana dia mulai tertarik isu migrasi…

Deutsche Welle
Melihat Penderitaan Pekerja Migran, Perdalam Studi Migrasi di Negeri Orang 

Jadi intinya, jangan sampai apa yang disebut circular migration [migrasi sirkuler] itu terus terjadi. Demikian dijelaskan Retno. Jadi bagaimana caranya, agar si pekerja migran sendiri lebih melek finansial, dan keluarganya juga lebih berdaya, sehingga tidak terlalu konsumtif. "Oleh sebab itu harus ada program reintegrasi", demikian ditekankan Retno. Itulah yang diangkat Retno dalam disertasinya.

Selain itu, walaupun tidak termasuk risetnya, Retno juga berusaha mengamati situasi di Jerman. Apalagi pemerintah Jerman sekarang juga berusaha mendatangkan pekerja dari Indonesia untuk bidang kesehatan. Di sektor ini Jerman memang sangat kekurangan tenaga perawat.

Ia mengemukakan lebih jauh, pekerja migran, seperti halnya orang Indonesia lainnya yang pernah hidup di Jerman dan kembali ke tanah air, tentu mengalami reverse culture shock, yaitu kesulitan bahkan kesedihan yang dialami seseorang ketika kembali ke negara asalnya, setelah bermukim di negara lain selama beberapa tahun.

Ini terutama jadi masalah bagi perempuan, yang pada intinya harus bisa kembali bergabung dengan anak-anaknya. "Dan karena ditinggal lama oleh ibunya, anak-anak ada yang mengalami salah asuh, ada pula yang suaminya berselingkuh," ungkap Retno.

Ia menambahkan, bedanya pekerja migran dengan misalnya orang Indonesia yang datang ke Jerman untuk bersekolah atau bekerja dan bisa sekali-sekali pulang, para pekerja migran hanya pulang ke Indonesia setelah kontraknya selesai seratus persen, jadi setelah dua atau tiga tahun. Di samping itu, para PMI purna kadang tidak punya perencanaan matang bagaimana uang yang diperoleh akan digunakan.

Retno menjelaskan, "Memang ada pula yang menggunakan penghasilannya untuk wirausaha, dan ada pula yang menggunakannya untuk studi sehingga bisa mendapat pendidikan tambahan, dan akhirnya mendapat pekerjaan yang lebih baik." Bahkan ada pula yang membuka semacam lembaga pendidikan, kata Retno. Ada juga yang membantu anak-anak dari keluarga broken home [keluarga tidak utuh] atau yang ditinggal karena orang tuanya mencari nafkah di negara lain dengan mendirikan kelompok belajar, juga perpustakaan, atau kursus serta pelatihan.

"Memang jika orang tetap ingin mencari nafkah dengan menjadi pekerja migran di luar negeri, tentu itu tidak dilarang", papar Retno. Namun tentu lebih baik jika mereka mendapat pengetahuan tentang berwirausaha, ditambah juga dengan pengetahuan dan kesadaran mengenai migrasi aman.

Jika studinya sudah selesai nanti, dia ingin berusaha mensosialisasikan hal ini bagi masyarakat Indonesia. "Jadi mereka tahu, jika ingin bekerja di Jerman, bukan hanya karena gaji tinggi, melainkan karena jaminan yang lebih jelas, UU yang lebih jelas, hak-kewajiban yang lebih jelas, dan penting juga: life-work balance-nya."

Memberdayakan perempuan di negeri orang dan Indonesia

Retno juga pernah bekerja di sebuah NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan. Dia mengatakan, bagi dia penting, bahwa perempuan tidak hanya berdaya dari segi skills melainkan juga bisa lebih vokal dalam mengungkapkan pendapatnya, juga tahu hak-hak dan kewajibannya. "Kalau saya, ya, tipenya, bukan yang ketika kita jadi perempuan berdaya, berarti tidak butuh laki-laki. Tidak seperti itu," ditekankan Retno, "tetapi penting bahwa dia tahu hak dan kewajibannya, dan bisa vokal dalam menyampaikan apa yang diinginkan."

Dia bercerita sebagai contoh, ketika mengadakan penelitian di desa, dia bertemu dengan ibu-ibu yang malu untuk pergi ke kantor berwenang untuk mengurus surat-surat seperti KTP. Jadi harus suami mereka yang mengurus. Padahal untuk mengurus dan mendapatkan banyak bantuan, orang memerlukan kartu identitas diri. Jika mereka bisa lebih vokal, tentu lebih baik, juga bagi keluarganya

Jika ini dikaitkan dengan topik pekerja migran, walaupun perempuan yang jadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah, seharusnya bisa bahu-membahu bersama suami dan keluarga intinya untuk menjaga keutuhan keluarga, kata Retno. Dia mengemukakan juga, "Kasus perceraian sangat tinggi karena masalah itu."

Ketika mengajar di Universitas Terbuka dan Kejar Paket C di Taiwan dia mengajar pekerja migran dan sebagian besar perempuan. "Mereka semangat belajarnya tinggi," tutur Retno dan menambahkan bahwa lewat belajar mereka jadi tahu, bahwa ada hal-hal yang mereka kira tabu atau pemali, sebenarnya itu hak-hak mereka, sehingga layak dituntut.

Dia juga mengemukakan, ada perbandingan antara PMI dan pekerja migran asal Filipina. Ternyata PMI lebih disukai majikan. "Karena apa? Manut," ujar Retno, dan menambahkan, sifat "manut" tentu ada kebaikan dan kerugiannya. Karena manut, para pekerja migran Indonesia tidak menuntut hak-hak mereka. "Misalnya mereka sebenarnya punya hak libur, mereka jadinya ga punya libur." Sebaliknya, pekerja dari Filipina lebih berani, dan kemampuan bahasa Inggris mereka biasanya lebih baik daripada pekerja Indonesia.

"Karena manutan, ga enakan, akhirnya diinjek-injek." Begitu ditegaskan Retno. Masalah lain lagi yang terkait dalam hal ini, orang Indonesia kerap menandatangani kontrak tanpa membacanya terlebih dahulu, sehignga tidak tahu hak-haknya.

Birokrasi Jerman rumit tapi adil

Saat ini Retno masih memperdalam pengetahuan bahasa Jermannya. Walaupun punya sertifikat bahasa Jerman sampai B1, tetapi karena kuliah dalam bahasa Inggris dan magang dalam bahasa Inggris, dia kurang mempraktekkan pengetahuan bahasa Jermannya. Sekarang memang banyak aplikasi yang bisa membantu untuk pemahaman bahasa. "Tetapi ketika harus berinteraksi langsung, terutama dengan masyarakat di luar kampus, kalau ga bisa bahasa Jerman kan agak gimana, gitu," kata Retno sambil tertawa.

Dia juga punya pengalaman buruk yang berkaitan dengan bahasa Jerman. Dia pernah mengalami kecelakaan di tangga, sehingga kakinya retak dan harus dioperasi. Dokter yang menangani Retno bukan orang Jerman, tetapi berbicara dengan dia dalam bahasa Jerman dan tidak bisa berbahasa Inggris. Kepada Retno dikatakan, bahwa Retno seharusnya bisa berbahasa Jerman karena berada di Jerman.

"Ada kondisi di mana saya pingin banget bisa belajar bahasa Jerman, tapi waktu ga cukup," kata Retno. Tapi dalam kondisi stres seperti itu, ia tidak bisa mengatakan apa-apa, dan merasa tidak berdaya. Apalagi itu operasi pertama yang harus ia jalani. Akhirnya ia dialihkan ke dokter lain yang bisa berbahasa Inggris. "Jadi saya sadar, bahwa bahasa Jerman itu penting banget. Tapi untuk bisa sampai level yang advance perlu waktu banget juga."

"Harus hati-hati dan mengikuti proses yang ada." Itu juga salah satu pelajaran penting dalam hal birokrasi, yang didapat Retno selama di Jerman. Dia menekankan, memang proses birokrasi di Jerman sangat rumit. "Cuman, saya melihat positifnya dari birokrasi di Jerman. Walaupun panjang dan ribet, tapi lebih pasti dan adil," katanya dengan yakin.

"Selama kita memenuhi semua persyaratan, memenuhi semua dokumen yang diminta, itu pasti dikabulkan," kata Retno. "Beda dengan di Indonesia," katanya lagi sambil tertawa, "kalo ga punya orang dalem, kalo ga ada pelicin, susah. Jadi ga adil, kalo menurut saya." (ml/as)

Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved