Jumat, 3 Oktober 2025
Deutsche Welle

Melihat Penderitaan Pekerja Migran, Perdalam Studi Migrasi di Negeri Orang

Berawal dari menggemari Doraemon dan drakor, Retno Widyastuti memulai studi di luar negeri, di mana dia mulai tertarik isu migrasi…

Deutsche Welle
Melihat Penderitaan Pekerja Migran, Perdalam Studi Migrasi di Negeri Orang 

Dia bercerita, untuk menyelesaikan S3 ia butuh waktu agak lama. Sekarang sudah masuk tahun ke enam. Yang membuat prosesnya menjadi lama adalah pandemi COVID, kata Retno.

Di samping masalah yang timbul akibat pandemi, dia juga mengalami pukulan berat di masa itu, karena kedua orang tuanya meninggal dunia berturut-turut. Tahun ini, kakak kandung satu-satunya juga meninggal. "Jadi secara mental itu berat," kata Retno lirih.

Di lain pihak, ada temannya yang mengalami banyak tantangan dalam menyelesaikan studi akibat pembimbingnya. "Entah supervisor-nya [pembimbingnya] sangat idealis, jadi susah gitu, ga lulus-lulus, karena revisi terus. Ada yang mengalami tindak semacam rasisme juga, jadi dipersulit untuk lulus. Ada juga yang masalahnya kesehatan."

Jadi dengan perkumpulan ini, mereka bisa saling membesarkan semangat pula, karena seperti digambarkan Retno, "Nulis disertasi PhD itu seperti maraton tapi sendirian". Ia menekankan, "Karena PhD yang sukses adalah PhD yang selesai." Sekarang, Retno sudah menyelesaikan disertasinya, dan tinggal menunggu sidang saja, yang akan diadakan akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Meningkatkan kesadaran Pekerja Migran Indonesia

Untuk studi S3-nya, isu awalnya memang pekerja migran, tapi yang bagi dia menarik adalah migration studies atau studi migrasi. Untuk itu, sejak tahun lalu, dia juga mengambil magang di badan Perserikatan Bangsa-Bangsa UN Migration, yang dikenal juga sebagai International Organization for Migration (IOM).

Namun mengingat markas organisasi itu di Jenewa, dia bekerja secara remote atau dari jarak jauh. Jadi di satu sisi dia belajar teorinya, tetapi juga praktek tentang migration governance atau tata kelola migrasi di PBB.

Ini juga sangat membantu menyelesaikan studinya, kata Retno. Setelah membaca banyak bahan yang diperoleh lewat magang di PBB, dia merombak beberapa bagian disertasinya.

Ketika ditanya mengapa dia memilih studi migrasi, Retno mengatakan, ketika di Taiwan, dia banyak berinteraksi dengan pekerja migran.

Ketika itu dia sempat pula menjadi tutor Kejar Paket C dan Universitas Terbuka. Siswa dan mahasiswa pada kedua program pendidikan ini adalah pekerja migran.

Dari situ dia banyak mendengar cerita-cerita dari para pekerja migran, tutur Retno.

Memang banyak cerita sedihnya, tetapi ada juga cerita suksesnya. "Karena itu saya concern [prihatin] dengan labor migration [migrasi pekerja]. Kenapa sih, mengapa begitu? Saya coba relate [hubungan] dengan diri sendiri," tutur Retno. Kebetulan, beberapa saudaranya juga ada yang menjadi pekerja migran di Malaysia dan Taiwan.

Di Indonesia pekerja migran disebut "pahlawan devisa", tapi Retno mengemukakan, pekerja migran biasanya tertarik untuk bekerja di luar negeri karena iming-imingan orang, sehingga bahkan bersedia melalui jalur yang ilegal. Itu tentu yang kerap berdampak pada terjadinya kekerasan bahkan kematian si pekerja migran. Jika itu terjadi, tentu dampaknya juga diderita keluarga si pekerja, dan dampak yang lebih luas lagi adalah bagi Indonesia, demikian dipaparkan Retno.

Ia menjelaskan, "Saya concern [prihatin] bagaimana caranya para pekerja migran ini bisa lebih aware [sadar], bisa lebih 'naik status' dan gimana agar paham aturan, gimana bekerja secara legal, terus perencanaan mereka lebih baik lagi."

Risetnya terutama pada pekerja migran yang telah kembali ke tanah air, tetapi tidak bisa berintegrasi kembali, dan setelah uangnya habis, kembali pergi ke luar negeri, padahal risikonya tinggi.

"Biasanya pekerja migran punya uang jika kembali ke tanah air. Tetapi mengingat mereka tidak tahu cara mengelola uang, mereka atau keluarganya konsumtif. Begitu kan, gaya hidupnya, beli ini, beli itu," kata Retno.

Halaman
1234
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved