RUU Konservasi: Mengapa masyarakat adat perlu dilibatkan dalam konservasi hutan?
Tokoh masyarakat adat Dalem Tamblingan, yang berasal dari Bali, Putu Ardana, mengatakan masyarakat adat harus dilibatkan karena menurut dia,
Putu Ardana menjadi salah satu perwakilan masyarakat adat yang dilibatkan dalam pembahasan RUU KSDAHE di DPR. Dia dan masyarakat adat Tamblingan sedang berjuang mengembalikan kawasan konservasi menjadi hutan adat yang suci, seperti sedia kala.
Bagi masyarakat adat setempat, kawasan Danau Tamblingan dan Hutan Mertajati— yang memiliki arti sumber kehidupan yang sesungguhnya— adalah kawasan suci milik mereka sejak “1.000-an tahun yang lalu”.
Namun, ketika Indonesia merdeka, wilayah itu diklaim menjadi wilayah konservasi milik pemerintah, yang sekarang “statusnya diturunkan” menjadi taman wisata alam.
“Menurut kami kualitas kawasan malah semakin menurun, ada penebangan liar, perburuan liar, dan kami sebagai masyarakat adat yang menganggap itu sebagai kawasan suci, ya ada rasa sakitlah yang kami rasakan. Makanya kami sekarang sedang berjuang agar posisi hutan itu dikembalikan sebagai hutan adat yang kepemilikannya adalah kami,” tutur Ardana.
Mereka tidak rela kawasan yang dianggap suci kini mulai rusak.
“Kami sering menemukan kayu yang dicuri atau ditebang. Itu kami laporkan ke polisi hutan, kami cuma dapat melapor saja, tidak pernah ditindak lanjuti,“ lanjut dia.
Baca juga:
- ‘Kami sudah sering dibohongi’ - Tiga generasi Suku Anak Dalam mengaku tertipu janji perusahaan sawit
Putu Ardana, yang juga merupakan Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, mengatakan mereka juga menolak investasi yang masuk demi menjaga kesucian hutan, meskipun bertentangan dengan pemerintah, sampai-sampai harus mendapat surat dari “dirjen“ KLHK yang memerintahkan untuk mendukung investor.
Hasilnya, kata Ardana, sampai saat ini belum ada pemilik izin investasi yang “berani eksekusi“.
“Kalau di hutan itu tidak kami izinkan, itu kan hutan suci, penghasil air bersih, udara bersih, lansekap yang lestari, itu kan yang menikmati masyarakat yang ada di bawahnya. Kalau investasi, kalau di luar kawasan ya silakan saja, jangan di hutan suci itu,“ tegas dia.
Beberapa cara telah mereka lakukan untuk mendapatkan kembali hutan adatnya.
Mereka melakukan pemetaan partisipatif yang mengajak anak muda dan mendaftarkan wilayah tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), meski masih terganjal karena sampai sekarang belum mendapatkan tanda tangan dari bupati setempat.
“Sekarang karena bupatinya sudah ganti, sudah PJ [penjabat], mungkin akan ada titik terang dan prosesnya di Kementerian LHK akan bisa dipermudah atau dipercepat,” tambah Ardana.
Mengatasi konflik yang kian ‘parah‘
Pembahasan RUU KSDAHE ini dianggap menjadi “momentum untuk memperbaiki dan memulihkan konflik tenurial“ yang terjadi antara masyarakat adat dengan negara di wilayah konservasi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.