RUU Konservasi: Mengapa masyarakat adat perlu dilibatkan dalam konservasi hutan?
Tokoh masyarakat adat Dalem Tamblingan, yang berasal dari Bali, Putu Ardana, mengatakan masyarakat adat harus dilibatkan karena menurut dia,
Rancangan Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai sejumlah pemerhati konservasi masih belum melibatkan masyarakat adat dan lokal “secara penuh dan efektif“, padahal sebagian wilayah adat merupakan “ruang hidup“ bagi mereka.
Meski isi RUU KSDAHE yang diusulkan DPR ini dinilai memiliki “sedikit kemajuan“ dibandingkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dengan judul yang sama, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan RUU ini masih “berwatak kolonial“.
“Paradigma konservasi masih belum bergeser dari scientific forestry yang masih berwatak kolonial itu, jadi seolah bahwa semua yang disebutkan dalam konservasi hanya negara yang paling benar. Padahal kan praktiknya ada masyarakat,“ kata Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM AMAN, Muhammad Arman, kepada BBC News Indonesia, Minggu (09/04).
Koordinator Kelompok Kerja Simposium ICCAs Indonesia (WGII), Kasmita Widodo, juga menekankan bahwa urusan konservasi seharusnya urusan banyak pihak, termasuk masyarakat adat. Apalagi saat ini banyak ruang hidup masyarakat adat yang berada dalam klaim kawasan konservasi.
“Ini hal yang krusial untuk dimasukkan di dalam norma-norma yang ada di dalam RUU tersebut, bagaimana membuka ruang masyarakat adat menjadi bagian di dalam pengelolaan konservasi,“ ujar Widodo.
Pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam RUU KSDAHE dinilai penting karena masih ada kawasan konservasi yang tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat.
Data yang dipaparkan WGII mencatat area konservasi yang tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat luasnya mencapai 4,5 juta hektare—dengan 2,9 juta hektare di antaranya berada di wilayah Taman Nasional.
Saat ini pun terdapat 16,3 juta jiwa yang tinggal di 6.747 desa yang berada di sekitar kawasan konservasi.
Tokoh masyarakat adat Dalem Tamblingan, yang berasal dari Bali, Putu Ardana, mengatakan masyarakat adat harus dilibatkan karena menurut dia, hutan-hutan yang kondisinya masih baik “sebagian besar itu hutan adat”.
“Misalnya hutan-hutan di Kalimantan, yang paling paham kan saudara-saudara kita yang di sana, bukan yang duduk di atas meja di Kementerian LHK [Lingkungan Hidup dan Kehutanan],” kata Ardana.
Right Resources Institute dalam laporannya tahun 2022, yang dikutip WGII, menyebut data global menunjukan bahwa wilayah kelola masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki tingkat deforestrasi lebih rendah, menyimpan lebih banyak karbon, dan mengandung lebih banyak keanekaragaman hayati.
Bagaimanapun, baik para pemerhati konservasi maupun masyarakat adat berharap RUU KSDAHE akan mengarah kepada sesuatu yang “lebih baik“, memberikan peluang bagi masyarakat adat dalam “tata kelola kawasan konservasi“ di Indonesia.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KSDAHE, Daniel Johan, mengatakan DPR pun berharap masyarakat memiliki peran aktif dalam kegiatan konservasi sehingga pada draf RUU usulan, DPR memasukan bab khusus peran serta masyarakat dan masyarakat adat.
“Peran serta masyarakat sebagai garda terdepan dalam menjaga sumber daya alam terutama masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, merekalah yang paling mengetahui kondisi hutan apalagi hutan menjadi sumber penghidupan masyarakat,” kata Daniel melalui aplikasi berbagi pesan kepada BBC News Indonesia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.