RUU Konservasi: Mengapa masyarakat adat perlu dilibatkan dalam konservasi hutan?
Tokoh masyarakat adat Dalem Tamblingan, yang berasal dari Bali, Putu Ardana, mengatakan masyarakat adat harus dilibatkan karena menurut dia,
Arman dari AMAN menyebut konflik tenurial di tanah air sudah “parah sekali“ karena sampai merenggut nyawa masyarakat.
Salah satunya, seperti yang terjadi pada masyarakat adat Colol, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Barat.
Pada 2004 lalu, wilayah masyarakat adat Colol yang digunakan untuk menanam kopi “diklaim sebagai wilayah konservasi“.
Menurut pemberitaan media, para petani diduga melanggar garis batas dan memanfaatkan kawasan hutan untuk menanam kopi.
Namun, menurut petani mereka tidak melanggar batas karena sudah mengikuti batas yang lama, sementara pemerintah memiliki batas baru yang tidak diketahui oleh para petani dan juga tidak disosialisasikan kepada mereka.
Konflik antara masyarakat dan pemerintah, yang melibatkan polisi itu, menyebabkan enam orang tewas dan 28 orang luka-luka.
Baca juga:
Kasus Colol itu hanyalah satu dari beberapa konflik tenurial yang terjadi di Indonesia. Kasmita Widodo mengatakan harus ada “payung hukum“ untuk menyelesaikan situasi-situasi seperti itu, bahkan untuk memadamkan potensi konflik.
“Tidak bisa mengandalkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, yang tidak membuka ruang sama sekali bagaimana peran masyarakat adat atau komunitas lokal,“ ujar Widodo.
Daniel Johan, yang juga merupakan anggota Komisi IV DPR, mengatakan RUU KSDAHE pun diharapkan bisa “meminimalisasi dan menyelesaikan masalah-masalah konflik tenurial“, bersama dengan undang-undang lainnya seperti Undang-undang Pokok Agraria.
'Pemerintah tidak mau mengganti undang-undang'
DPR mengusulkan RUU KSDAHE untuk menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 pada 17 Desember 2019 lalu karena dinilai perlu ada penyesuaian setelah 32 tahun karena lingkungan mengalami banyak perubahan.
Daniel Johan menyontohkan, saat ini sumber mata air semakin menipis, berbeda dengan 20 tahun yang lalu sangat banyak ditemukan karena "hutan-hutan masih bagus, terutama tutupan lahan di daerah pegunungan".
"Namun, faktanya sekarang banyak hutan kita yang alih fungsi, perubahan kawasan menjadi APL [Area Penggunaan Lain] menyebabkan cepatnya perubahan dan hilangnya hutan-hutan sebagai sumber air maupun kehidupan satwa di dalamnya. Maka dari itu, RUU ini sangat mendesak untuk segera kita selesaikan dan undang-undangkan," lanjut Daniel.
Menurut catatan WGII, persiapan RUU ini bahkan telah dimulai sejak 2016 lalu dengan nama RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (KKHE). Namun, RUU ini belum berhasil dibahas secara intensif dan disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.