Kisah seorang anak kabur dari Korea Utara demi mencari ibunya
Setelah akhirnya bersatu kembali di Seoul usai berpisah selama satu dekade, Songmi bertanya kepada ibunya mengapa dia meninggalkannya di Korea
Hidangan klasik Korea Utara ini adalah makanan favorit Songmi. Berbeda dengan rasa bersalah ibunya, Songmi memancarkan energi yang menular.
Dia tertawa dan bercanda saat menghibur ibunya, menyembunyikan trauma-trauma masa kecilnya.
“Sehari sebelum saya dibebaskan dari tempat penampungan, saya sangat gugup. Saya tidak yakin apa yang akan saya sampaikan kepada ibu,” kata dia.
“Saya ingin terlihat cantik di depannya, tapi berat badanku bertambah banyak selama pelarian dan rambutku berantakan.”
“Saya juga sangat gugup,” aku Myung-hui.
Myung-hui tidak lagi mengenali putrinya, yang terakhir kali dia lihat saat berusia delapan tahun. Sementara yang dia temui adalah anaknya yang telah berusia 18 tahun.
“Dia ada di depan saya, jadi saya menerima saja bahwa ini pasti dia,” kata Myung-hui.
“Ada begitu banyak yang ingin saya sampaikan, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Saya hanya memeluknya dan bilang, ‘Hebat, kamu telah melalui banyak hal untuk sampai ke sini’”.
Songmi mengatakan pikirannya kosong saat itu.
“Kami hanya menangis dan berpelukan selama 15 menit. Semuanya terasa seperti mimpi”.
Pada saat Songmi dan ibunya berupaya membangun kembali hubungan mereka dari nol, ada satu hal yang tidak pernah berani ditanyakan oleh Songmi.
Pertanyaan itulah yang selalu dia tanyakan pada dirinya sendiri setiap hari sejak dia berusia delapan tahun.
Sekarang, ketika mereka menyeruput sisa makan siang mereka, dengan hati-hati dia membiarkan pertanyaan itu terucap.
"Kenapa ibu meninggalkanku?"
Dengan gugup, Myung-hui mulai menjelaskan. Pelarian pertama mereka adalah idenya. Bagaimana mungkin dia bisa pulang dari penjara untuk tinggal bersama kedua mertuanya, dan menjadi pengingat bagi mereka bahwa dia bisa selamat, sedangkan putra mereka meninggal?
Dia tidak punya uang, dan tidak bisa mencari jalan keluar baginya dan Songmi untuk bisa bertahan hidup sendirian.
“Ibu ingin membawamu, tapi perantara mengatakan tidak boleh ada anak-anak,” kata dia.
“Dan, kalau kita tertangkap lagi, kita berdua akan menderita. Jadi ibu meminta nenekmu untuk menjagamu selama setahun.”
“Oh begitu,” kata Songmi, matanya menunduk. “Hanya satu tahun, ternyata menjadi 10.”
“Iya,” ibunya mengangguk.
“Pagi itu ketika ibu pergi, kaki ibu enggan bergerak, tetapi kakekmu menyuruh ibu pergi. Dia menyuruh ibu keluar. Ibu ingin kamu tahu, kalau ibu tidak meninggalkamu. Ibu ingin memberimu kehidupan yang lebih baik. Ini sepertinya pilihan yang tepat.”
Pilihan itu mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh siapa pun yang tinggal di luar Korea Utara. Tetapi keputusan yang memilukan dan berisiko ini harus mereka ambil demi melarikan diri, dan upaya semacam ini semakin sulit dilakukan.
Pemerintah Korea Utara, di bawah kepemimpinan Kim Jong Un, telah meningkatkan pengawasan di sepanjang perbatasan dan memberlakukan hukuman yang lebih keras bagi mereka yang tertangkap ketika mencoba melarikan diri.
Sebelum tahun 2020, lebih dari 1.000 warga Korea Utara tiba di Korea Selatan setiap tahun. Namun pada 2020, pada tahun kedatangan Songmi, jumlahnya menurun menjadi 229 orang.
Ketika pandemi dimulai pada awal tahun itu, Korea Utara menutup perbatasannya dan melarang warganya bepergian di seantero negeri.
Tentara di sepanjang perbatasan diperintahkan untuk menembak dan membunuh siapa saja yang mereka tangkap mencoba melarikan diri.
Tahun lalu, hanya 67 warga Korea Utara yang tiba di Korea Selatan, dan kebanyakan dari mereka telah meninggalkan negara itu sejak sebelum pandemi.
Songmi merupakan salah satu orang terakhir yang berhasil kabur sebelum perbatasan ditutup.
Oleh karena itu, ingatannya sangat berharga, karena memberi wawasan baru yang kian langka soal bagaimana kehidupan di negara yang paling tertutup di dunia.
Da masih ingat bagaimana musim panas terasa semakin panas. Pada 2017, tanaman mulai mengering dan mati, tidak menyisakan apa pun untuk dimakan pada musim gugur dan musim semi.
Tetapi para petani masih diminta menyerahkan hasil panen dengan jumlah yang sama kepada pemerintah setiap tahun, yang berarti hanya menyisakan sedikit, bahkan tidak sama sekali, bagi mereka untuk dimakan.
Mereka mulai mencari makanan di pegunungan. Beberapa orang akhirnya memilih berhenti bertani.
Mereka yang bekerja di tambang, sumber pekerjaan utama lainnya di kampung halamannya di Musan, bernasib lebih buruk.
Sanksi internasional yang dikenakan pada Korea Utara pada tahun 2017, setelah menguji senjata nuklir, mengakibatkan tidak ada yang bisa membeli bijih nikel dari tambang tersebut.
Tambang hampir berhenti beroperasi, dan para pekerja tidak lagi menerima upah. Mereka akan menyelinap ke tambang pada malam hari demi mencuri suku cadang, meski terancam hukuman bila tertangkap.
Mereka tidak tahu bagaimana menemukan makanan di alam liar, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang biasanya bertani.
Namun pada 2019, ketakutan terbesar selain mendapatkan makanan untuk bertahan hidup, adalah ketahuan menonton film dan program dari televisi asing.
Film-film asing telah lama diselundupkan ke Korea Utara, sehingga memberi warganya gambaran sekilas mengenai dunia yang memikat di luar kehidupan mereka.
Gambaran Korea Selatan yang modern dan glamor dalam K-drama, telah menimbulkan ancaman terbesar bagi pemerintah Korea Utara.
“Anda bisa didenda atau dipenjara selama dua atau tiga tahun karena menonton film Korea Selatan, tapi pada 2019, menonton film yang sama bisa membuat Anda dikirim ke kamp penjara politik,” kata Songmi.
Dia pernah tertangkap menyimpan film India di dalam flashdisk-nya, namun dia berhasil meyakinkan petugas keamanan bahwa dia tidak tahu bahwa film itu ada di dalamnya. Dia berhasil lolos dan hanya didenda. Temannya tidak seberuntung itu.
Suatu hari, pada bulan Juni 2022, setelah tiba di Korea Selatan, Songmi menerima telepon dari ibu temannya.
“Dia memberi tahu saya bahwa teman saya tertangkap karena memiliki salinan Squid Game, lalu karena dia yang mendistribusikannya, dia dieksekusi,” kata Songmi.
Pengakuan Songmi selaras dengan laporan baru-baru ini dari Korea Utara mengenai orang-orang yang dieksekusi karena mendistribusikan film-film asing.
“Tampaknya situasinya bahkan lebih menakutkan dibanding ketika saya masih di sana. Orang-orang ditembak atau dikirim ke kamp karena menyimpan media Korea Selatan, tanpa memandang usia mereka,” ujarnya.
Beradaptasi dengan kehidupan di Korea Selatan yang kapitalis dan bebas sering kali sulit bagi warga Korea Utara. Ini sangat berbeda dengan apa yang pernah mereka lalui. Tapi, Songmi menjalaninya dengan sangat baik.
Dia merindukan teman-temannya, yang tidak bisa dia beri tahu bahwa dia akan kabur. Dia rindu berjoget bersama mereka, serta memainkan permainan dengan batu di tanah.
“Ketika bertemu teman di Korea Selatan, biasanya Anda hanya pergi berbelanja atau minum kopi,” kata dia.
Apa yang membantu Songmi dalam beradaptasi adalah keyakinannya yang teguh bahwa dia tidak berbeda dengan rekan-rekannya di Korea Selatan.
"Setelah melalui perjalanan selama berbulan-bulan melintasi China dan Laos, saya merasa seolah-olah saya yatim piatu, dikirim untuk tinggal di negara asing," katanya
Tapi ketika dia mendarat di bandara di Seoul, petugas bandara menyambutnya dengan sapaan "annyeonghaseyo".
Kata yang berarti halo, yang digunakan di Korea Utara dan Selatan, mengejutkannya.
"Saya menyadari bahwa kami adalah orang yang sama di tanah yang sama. Saya tidak datang ke negara yang berbeda. Saya hanya bepergian ke selatan."
Dia duduk di bandara dan menangis selama 10 menit.
Songmi mengatakan dia sekarang telah menemukan tujuannya, yaitu mengadvokasi kedua Korea untuk dipersatukan kembali.
Ini adalah masa depan yang banyak diimpikan orang Korea Selatan, tetapi banyak yang tidak percaya pada mimpi itu.
Semakin lama waktu berlalu sejak kedua negara ini terpecah, semakin sedikit orang, terutama kaum muda, yang melihat perlunya keduanya bersatu kembali.
Songmi mengajar di sekolah-sekolah mengenai Korea Utara. Dia bertanya siapa di antara murid-murid itu yang memikirkan reunifikasi, dan biasanya hanya beberapa orang yang mengangkat tangan.
Tetapi ketika dia meminta mereka untuk menggambar peta Korea, sebagian besar membuat sketsa garis besar dari seluruh semenanjung, termasuk Korea Utara dan Selatan. Ini memberinya harapan.
Selama Songmi membangun kembali hubungannya dengan ibunya, hanya ada sedikit ketegangan.
Mereka sering tertawa dan berpelukan, dan Songmi kerap mengusap air mata ibunya ketika mereka mengenang momen menyakitkan dari masa lalu masing-masing.
Pilihan ibunya tepat, kata Songmi, karena mereka berdua kini hidup bahagia di Korea Selatan.
Myung-hui mungkin awalnya tidak bisa mengenali putrinya, tetapi ibu dan anak itu terlihat sangat mirip. Sekarang dia bisa melihat dirinya ketika berusia 19 tahun pada putrinya.
Hubungan mereka lebih seperti persahabatan atau saudara perempuan. Songmi senang bercerita kepada Myung-hui mengenai kencan-kencannya.
Hanya ketika mereka berdebat, dia baru merasakan, “Wow, saya benar-benar tinggal bersama ibu saya,” katanya sambil tertawa.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.