Dari 'lontang lantung', jadi preman, kondektur angkutan kota sampai menjadi petani panutan
Seorang pemuda asal Klaten, Jawa Tengah, bercerita bagaimana latar belakangnya menjadi preman mendorongnya membantu para pemuda jalanan dengan
Panas terik tak menghalangi pemuda itu melakukan aktivitas yang dilakoninya setiap hari.
Tangan kanannya yang dihiasi tato sibuk memetik cabai yang sudah layak panen, satu per satu di lahan pertanian di Teluk Naga, tak jauh dari Bandara Sukarno-Hatta, Tangerang.
Ini adalah tahun ke delapan Mudzakir, nama pemuda itu, bekerja sebagai petani di ladang, yang menghasilkan sayur dan buah yang dijual di sejumlah pasar dan supermarket besar di seputar Jakarta.
Lahan seluas 26 hektar ini diolah Bagas Suratman, pemuda asal Klaten, Jawa Tengah, dalam lebih 10 tahun terakhir, langkah yang membawanya ditetapkan sebagai petani panutan oleh Kementerian Pertanian.
"Awal mulanya saya pengangguran, terus diajak teman ke sini, terus ketemu Pak Bagas, terus saya kerja di sini. Pengen jadi petani aja saya, karena sekolah saya kan nggak tinggi, cuma SD doang, ya udah saya memutuskan menjadi petani," kata Dakir menyebut jasa Bagas.
"Ternyata jadi petani asyik juga sebenarnya," cetusnya.
Dengan logat Jawa kental, pemuda asal Tegal ini menuturkan awal mula dirinya mulai bertani setelah lama menganggur.
- Pelajar Makassar, pencipta komik yang siap disebarkan di seluruh dunia
- Preman ikut menata Tanah Abang? Siapa sebenarnya mereka?
- Pertanian dan budidaya ikan Mina padi :'Satu hektar lahan bisa dapat omset 120 juta'
Terbatasnya lapangan pekerjaan untuk jebolan sekolah dasar di kampung halaman membuat Dakir terpaksa menganggur.
Apalagi, dia tak memiliki keahlian apa pun. Setiap hari hanya dia habiskan dengan nongkrong bersama teman-teman dan menggantungkan hidupnya kepada kedua orang tuanya.
Namun, dia akhirnya memutuskan hijrah ke ibu kota dan bekerja sebagai petani, meskipun dia buta sama sekali tentang dunia pertanian. Dia mengungkapkan alasannya.
"Saya ingin membahagiakan orang tua. Itu sih maunya saya sendiri," kata Dakir.
Kini, delapan tahun kemudian, Dakir sudah paham cara bercocok tanam. Uang yang dihasilkan dari bercocok tanam, dia kumpulkan untuk dikirm ke kampung halaman untuk membantu orang tua dan menyekolahkan kedua adiknya.
"Saya pengen beliin rumah untuk orang tua, yang lebih layak, terus pengen nyekolahin adik yang tinggi," ujar dia.
Dakir adalah salah satu dari belasan petani muda yang dibina Bagas untuk mengerjakan lahan di Tangerang itu.