Sabtu, 4 Oktober 2025

Nurhadi-Aldo: Penyegar kesumpekan Pilpres yang menormalisasi kecabulan politik?

Banyak yang terhibur menyambut Nurhadi-Aldo, 'calon presiden nomor urut 10'. Namun Tunggal Pawestri mencemaskan betapa seksisme dan eksploitasi

Kalau saya sebut tokoh, itu tidak harus tokoh politik terkenal atau pejabat atau petinggi, atau perwira TNI/polisi. Tapi bisa juga tokoh di gerakan mahasiswa, kelompok perlawanan, atau LSM.

Ada zamannya, karena masa itu kesadaran gender masih rendah, belum ada gerakan #meetoo, atau kita —saya— masih begitu muda, hijau dan masih pendatang baru di gerakan, ya cuma ikut ketawa pahit.

Saya paling-paling membatin waktu itu, dengan menggunakan ungkapan yang banyak dibicarakan: Rezim Soeharto ini tak bermutu, oposisinya tak bermutu, kelompok perlawanannya tak bermutu juga, dengan humor tak bermutu. Pantas saja Soeharto berkuasa begitu lama.

Maka saya merasa déjà vu: apa yang terjadi di zaman itu, kok bisa-bisanya muncul lagi sekarang, ketika sepertinya dunia Indonesia (politik, masyarakat sipil, orang-orang gerakan, ya politikus juga) sudah jauh lebih tercerahkan dan berkesadaran.

Mungkin ada sebentar kesegaran yang disumbangkan fenomena Nurhadi Aldo. Lebih-lebih sosok yang mereka jadikan simbol adalah seorang tukang pijat, lambang masyarakat bawah.

Namun sebagian besar meme-meme Nurhadi Aldo, membuat saya teringat pada guyonan-guyonan tak bermutu dan payah yang berpusat pada seks lelaki di masa lalu.

Menertawakan situasi dengan humor yang dilandasi cara pikir, persepsi seksis dan phallus centris itu, mungkin bisa membuat sebagian dari kita merasa terhibur sesekali.

Tapi kita (kalau mengidentifikasi diri pada Nurhadi Aldo sebagai kalangan 'pasangan nomor sepuluh dalam pilpres) pasti sama sekali tidak lebih baik, tidak lebih tercerahkan dan tidak lebih berkesadaran dari kalangan pasangan nomor 01 dan 02 yang sedang kita kritik (atau lagi-lagi saya halu?).

Jadi pasangan 'pujaanq' Nurhadi-Aldo, baru menawarkan tahap ketawa terbahak-bahak, tapi masih jauh sekali dari menjadi alternatif atau perlawanan atau budaya tandingan (sebagian meme mereka nada dasarnya khotbah moral dan agama juga).

Tapi ya barangkali memang cuma baru sampai di titik itu tingkat kecerdasan politik kita, bahkan kalangan yang mengaku di luar arus utama atau muak dengan kemapanan dan sengitnya pertarungan para cebong dan kampret.

Iya saya sedang berhalusinasi.

Tapi saya memilih untuk tetap berharap pada pasangan satir Dildo, semoga ke depan mereka bisa muncul dengan ungkapan-ungkapan lucu yang dirancang dengan serius yang melindas seksisme, menghancurkan patriarki (seperti janjinya), menghargai dan mengusung hak-hak LGBT, edukasi orgasme buat perempuan dll, dsb.

Mumpung cuma imajiner, mbok sisan!.

Sekian luapan saya sebagai feminis galak kering jutek. Lega juga saya, tulisan ini bisa saya akhiri.

Sekarang saya akan kembali mencari sisa-sisa bagian diri saya sebagai feminis riang, penikmat dan pengamal perbuatan seks tapi anti seksisme.


Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved