Jumat, 3 Oktober 2025

Nurhadi-Aldo: Penyegar kesumpekan Pilpres yang menormalisasi kecabulan politik?

Banyak yang terhibur menyambut Nurhadi-Aldo, 'calon presiden nomor urut 10'. Namun Tunggal Pawestri mencemaskan betapa seksisme dan eksploitasi

Suasana gembira dan terhibur menyambut Nurhadi-Aldo, yang disebut jadi 'calon presiden nomor urut 10,' terus mendominasi percakapan publik dan media sosial. Namun Tunggal Pawestri menyorot sisi lain dari fenomena yang lagi ramai ini, yang banyak terluputkan.

Baik, sepertinya kita sedang dalam suatu perayaan besar atas datangnya Nurhadi-Aldo, alias Dildo, yang seakan menghembuskan kesegaran terhadap situasi politik terkait Pilres 2019 yang panas, sengit, pengap, sumpek -dan sama sekali tidak lucu.

Tapi saya sekarang sudah tidak dalam mood itu. Jadi kiranya, saat ini saya harus bersiap sedia untuk dituduh dan dimaki sebagai feminis garang, jutek, judes, garis keras, tak punya selera humor, fundamentalis. Memperkuat stereotip yang sering dilekatkan oleh kaum misoginis. Semoga saya tabah menghadapinya.

Jadi biarlah saya sampaikan sekarang kerisauan ini.

Saat pertama kali muncul, 'gerakan' Nurhadi-Aldo itu sempat membuat saya tersenyum simpul, bersuka ria, mendapat capres fiksi (tak ada urusan dengan kitab suci) yang menjadi alternatif kejumudan politik saat ini dan menganggapnya sebagai reaksi budaya cerdas terhadap ketidak-bermutuan politik Indonesia sekarang.

Tetapi makin ke sini, saya mendapati gerakannya kian mengecewakan, karena dalam perkembangannya —sebetulnya sudah ada tandanya sejak awal— lebih sering menunjukkan kualitas humor (politik atau non-politik) yang jauh dari citra 'perlawanan budaya.'

Ada satu dua poster (meme) mereka yang tampak cerdas berkelas. Misalnya parodi tentang semboyan 'masyarakat tanpa kelas' dari Karl Marx. Tapi selebihnya, sentilan mereka terhadap politik sangat klise, dan plesetan-plesetan mereka merupakan guyonan biasa sekali.S

Selebihnya, mereka habis-habisan melucu dengan istilah-istilah, asosiasi, dan akronim yang bernada mesum, vulgar dan seksis. Begitu pun meme-meme dan poster-poster dari para warganet yang diunggah di laman FB Nurhadi-Aldo.

Bahwa fenomena Dildo ini terus dirayakan tak habis-habisnya, diglorifikasi seakan bagai messiah politik Indonesia, sedemikian rupa sehingga cacat-cacatnya yang begitu fundamental, diloloskan, diluputkan, dimaafkan, jangan-jangan ini gara-gara saking buruk dan rendahnya kualitas politik kita.

Ya, bisa jadi saya kelebihan ekspektasi.

Saya sempat berharap capres parodi ini akan jadi sebuah metode 'perlawanan' yang tajam untuk mengejek payahnya politik kita, terlebih setelah banyak aktivis melibatkan diri, memperkuat kubu Dildo sebagai 'caleg' mereka.

Sejumlah aktivis membuat poster —meme— seakan mereka caleg partai Dildo, dengan mencantumkan program singkat tapi lucu-lucu. Namun sebagian di antaranya juga merupakan program bernada seksis, seperti 'pelatihan lampu sein bagi ibu-ibu'.

Kalau gelombang ini terus berlanjut, tanpa sentuhan sedikit pencerahan dan kesadaran elementer tentang seksime, saya curiga, nanti mungkin akan ada caleg parodi kubu Dildo ini yang mencantumkan program pelatihan bagi perempuan untuk bisa bersikap manusiawi di gerbong khusus perempuan.

Atau ada program bagi para istri untuk tertib berbelanja agar suami tidak korup, program bagi para (perempuan) pacar untuk berdandan cepat kalau dijemput, dan berbagai materi program yang berbasis stereotip gender dan seksis.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved