Jumat, 3 Oktober 2025

Nurhadi-Aldo: Penyegar kesumpekan Pilpres yang menormalisasi kecabulan politik?

Banyak yang terhibur menyambut Nurhadi-Aldo, 'calon presiden nomor urut 10'. Namun Tunggal Pawestri mencemaskan betapa seksisme dan eksploitasi

Entah mengapa, saat melihat banyak yang begitu santai dengan permakluman dan demikian permisif terhadap nada-nada cabul dan mesum sekitar pasangan satir Dildo ini, saya jadi teringat saat pendukung Trump membuat kaus bertuliskan "Trump can grab my pussy" (perlu saya terjemahkan?).

Kaus itu mereka pakai saat kampanye, untuk memaklumi dan memberi pembelaan pada ucapan dan kelakuan cabul Donald Trump tentang menggerayangi kelamin perempuan (katanya, asalkan kita kaya, terkenal, dan berkuasa).

Saya tak kunjung paham, bagaimana para pendukung fanatik Trump bisa sampai ke tingkat itu dalam memaklumi rendahnya akhlak (saya pakai istilah akhlak ini, boleh, ya) dan perbuatan itu sekadar karena politik.

Dan sejauh ini saya hanya bicara dalam konteks dunia yang biner, ya, yang hetero-sentris.

Dunia agaknya sudah berubah, bro

Ini tahun ke-19 milenial ketiga, dengan dunia yang sudah begitu berubah, dengan kesadaran politik sosial yang sudah begitu maju, dengan sensitifitas baru di kalangan kaum terpelajar khususnya -dan feminis ada di dalamnya, saya kira.

Berbeda dengan beberapa belas tahun lalu. Dulu para politikus atau figur publik (mereka yang dibicarakan ini, 99,9999% adalah laki-laki) bisa dengan leluasa membuat guyonan cabul dan vulgar, lalu disambut gelak tawa.

Guyonan cabul itu sudah tentu bersifat 'kelelakian', phallus centris yang berkisar pada urusan seks kaum laki-laki.

Sekarang ini, kalau ada kaum seleb atau pesohor bercanda seksis, cabul, vulgar di ruang umum, sudah bisa dipastikan akan dipanggang oleh berbagai kecaman dan kutukan -khususnya di media sosial.

Ernest Prakasa, misalnya adalah sosok yang pernah mengalaminya -dan kemudian tercerahkan. Sehingga dia membuat pernyataan 'pengakuan dosa' dan bertekad untuk belajar banyak, dan lebih peka dalam karya-karya selanjutnya, baik di panggung stand-up, maupun di film-filmnya. Kesadaran baru bertumbuh. Kita menyambutnya.

Belum lama ini, Triawan Munaf, Ketua Barekraf tak henti diejek, ditertawakan karena tanpa sadar mengucapkan kalimat yang mengandung dua kata yang digunakan berturut yang menciptakan kata yang terdengar tidak senonoh: "IKKON-TOL: Inovasi, Kreativitas, Kolaborasi Nusantara khusus untuk daerah-daerah yang dilewati tol".

Apa yang muncul dari Ketua Barekraf, ikkon-tol, dalam berbagai bentuk pernah hadir sebagai guyonan politik dan sosial di masa lalu, dan dianggap lucu saja, bahkan banyak yang sengaja mencari-cari plesetan seperti itu sebagai bahan guyonan.

Misalnya dulu ketika populer istilah situasi kondisi 'sikon,' lalu ada yang bermain-main dengan istilah bikinan: 'situasi dan kondisi toleransi masyarakat timur' yang dibuat menjadi akronim sikontol mati -dan orang tertawa.

Namun sekarang situasinya lain. Orang lebih sensitif dan berkesadaran mengenai istilah yang 'correct'. Lebih-lebih, seperti sudah saya bilang, sekarang ada media sosial untuk menyalurkan keberatan itu dan memanggang para politikus atau tokoh publik yang bercanda seperti itu.

Akan tetapi, parodi Nurhadi-Aldo ini mujur sekali tampaknya. Mereka mengalami apa yang dalam bahasa Inggris disebut 'to get away with murder', istilah yang menunjukan semacam keberuntungan karena lolos dari situasi yang apabila dilakukan orang lain hampir pasti mereka akan mendapatkan masalah besar.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved