'Depresi pasca melahirkan membuat saya ingin bunuh bunuh diri bersama anak'
Ibu yang mengalami depresi pasca-melahirkan di Indonesia kurang diperhatikan, Nur Yanayirah seorang ibu yang pernah mengalaminya kemudian membuat
Depresi pasca melahirkan yang dialami perempuan selama ini tidak banyak diperhatikan apalagi ditangani, padahal bisa menjadi memicu seorang ibu bunuh diri. Seorang penyintas depresi pasca melahirkan Nur Yanayirah mendirikan komunitas MotherHope Indonesia, meningkatkan kepedulian dan penanganan sejak dini terhadap ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan.
Nur Yanayirah menceritakan depresi yang dialaminya setelah melahirkan anak keduanya, yang membuatnya ingin bunuh diri bersama anaknya.
"Waktu itu saya keluar rumah magrib-magrib, gelap hujan saya tidak bawa payung, tidak bawa jas ujan, anak saya itu cuma saya pakaikan jaket tipis, jadi saya kehujanan bayi saya kehujanan, sebenarnya banyak orang yang teriak bilang, nanti bayinya sakit, saya cuek saja kayak orang linglung," ungkap Nur Yanayirah yang biasa dipanggil Yana.
Dia mengatakan saat itu pikirannya kosong dan ingin bunuh diri di danau bersama anaknya.
Namun, seorang pengendara motor menghentikan upaya Nur Yanayirah untuk bunuh diri. Pria itu membawa Yana ke mini market terdekat, lalu memberinya minum.
"Lalu saya telepon suami saya minta dijemput," jelas dia.
Ketika itu, suaminya belum menyadari Yana menderita depresi pasca melahirkan.
- Seorang ibu melahirkan bayi dengan indung telur sebelum menstruasi
- Mitos-mitos kehamilan: Dari makan banyak hingga larangan terbang
Menawarkan anak ke Facebook
Setelah upaya bunuh diri itu, Yana lalu menawarkan bayinya yang baru berusia sembilan bulan untuk diadopsi melalui Facebook.
"Sebenarnya saya sayang sama anak itu, cuma saya sadar saya tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi dia, saya takut menyakiti dia, saya takut peristiwa bunuh diri itu terulang lagi, makanya saya ingin kasih dia buat orang lain, mungkin ada yang dapat merawatnya dengan kasih sayang dengan lebih sehat," ungkap Yana.
Status di media sosial itu membuat Yana banyak menerima komentar negatif melalui Facebook, yang mengecam tawaran adopsi anak tersebut. Namun masih ada beberapa komentar yang menunjukkan kepedulian terhadap kondisi psikologis Yana.
"Yang peduli itu cuma lima atau satu gitu, ada satu teman saya yang merasa saya butuh batuan psikolog, atau butuh bantuan psikiater," jelas Yana.
Atas saran rekannya di media sosial, Yana kemudian menjalani konsultasi di Komunitas Peduli Trauma bersama suaminya. Melalui sejumlah konsultasi diketahui Yana mengalami depresi setelah kehilangan anak pertamanya karena meninggal dalam kandungan karena kelainan genetik, padahal dia telah menantikannya selama empat tahun.
"Saat itu saya merasa sangat syok, merasa terguncang tertekan tak bisa menerima kenyataan, merasa kehilangan sampai saya melihat bantal atau guling itu seakan-anak anak saya, saya mendengar suara bayi di mana-mana, jadi sangat traumatis," jelas Yana.
Lalu lima bulan kemudian ketika masih dalam kondisi depresi Yana hamil anak kedua.