Beribadah di masjid sendiri, mengapa Ahmadiyah dituding cenderung eksklusif?
Jemaah Ahmadiyah disebut cenderung melakukan salat di masjid sendiri dan hidup berkelompok, yang kerap digunakan sebagai landasan oleh sebagian
Nayati (40) masuk Ahmadiyah karena kakaknya, Parman, yang berguru di Filipina selatan.
Saudara laki-lakinya yang bertugas sebagai mubaligh Ahmadiyah itu kedatangan rombongan tamu Ahmadiyah pada 6 Februari 2011 lalu dan mereka diusir oleh massa sampai terjadi bentrokan berdarah yang menyebabkan tiga Ahmadi meninggal dunia. Nayati menyaksikan semua itu.
"Trauma, kalau ada keributan cepat kaget. Jangan-jangan ada kejadian seperti dulu, dan bagaimana dengan anak-anak saya. Yang membuat kuat, saya punya Allah."
"Pasti saya bisa mendidik anak, menyekolahkan anak biar mereka lebih maju, lebih pintar dan berguna. Kekuatan juga datang dari anak," papar Nayati.
Sebagian harapan Nayati sudah terwujud, sebab putra sulungnya kini bekerja di Jepang setelah menamatkan pendidikan tahun 2017. Ia juga sudah mempunyai rumah di Gondrong, Tangerang, yang ia tempati sekarang.
Betapapun, Nayati juga mengidam-idamkan dapat hidup kembali dengan tenang dan aman di desanya. Di sana ia masih mempunyai rumah, ladang dan sawah. Rumahnya kosong. Ladang dan sawahnya dikatakan diolah oleh beberapa oknum "tanpa imbalan memadai".
Diharuskan bertaubat
Dengan perjalanan darat dari Jakarta, saya meluncur ke Cikeusik. Perjalanan darat selama beberapa jam melewati kawasan pedesaan yang hijau terasa tak ada akhirnya.
Apakah mungkin Nayati dan keluarganya kembali hidup berdampingan bersama warga lainnya di Desa Umbulan, Kecamatan Cikuesik, tanah kelahiran mereka?
"Mungkin kalau penganut Ahmadiyah kembali ke sini, tapi para ulama yang ada di Kecamatan Cikeusik khususnya dan yang ada di Provinsi Banten pada umumnya tidak menerima begitu saja," tegas Ketua Majelis Ulama Cikeusik, Haji Amir, yang juga menjadi pemuka masyarakat di Desa Umbulan.
Adapun syaratnya, menurut Amir, mereka harus "bertaubat kembali ke agama Islam" dan mau berbaur dengan warga desa.
Dengan syarat pertama itu, tampaknya sulit menemukan titik temu atas pengusiran komunitas Ahmadiyah dari desa mereka sendiri. Pasalnya, jemaah Ahmadiyah yakin mereka menganut ajaran Islam sebagaimana diajarkan dalam kitab suci Alquran.
Hidup sebagai Ahmadi di Inggris
Di ibu kota Inggris, London, yang menjadi pusat jemaah Ahmadiyah dunia sejak 1984, apa yang disebut 'eksklusivitas' tersebut tak tampak. Mungkin ini karena di kota besar kosmopolitan, melting pot dari aneka kebangsaan, kebudayaan, kepercayaan dan lainnya.
Kendati demikian, tak dinafikan kenyataan bahwa banyak jemaaah Ahmadiyah tinggal di Morden, London selatan, lokasi masjid Ahmadiyah, Baitul Futuh, yang menjadi 'jantung' dari aliran Islam tersebut.
Mereka hidup berdampingan dengan penduduk London lainnya.
Keberadaan mereka tampak menonjol ketika waktu salat Jumat tiba. Ini saya saksikan selama melakukan peliputan di Baitul Futuh tiga Jumat berturut-turut.
"Kenapa Anda ingin pergi ke Baitul Futuh? Itu masjid Ahmadiyah. Pergi saja ke masjid untuk Muslim yang ada di lantai dua kantor kecamatan," selidik Mansoor, sopir taksi asal Afghanistan yang mengantarkan saya.
Dari jalan raya, tampak para jemaah, baik laki-laki maupun perempuan, mulai mengalir tengah hari dengan puncaknya sekitar pukul 13.00 selama musim dingin seperti sekarang. Sesudah jam 14.30 mereka bubar dengan tertib dan kembali ke aktivitas semula.
Apakah orang Ahmadiyah hidup secara eksklusif di Inggris?
"Apa yang Anda saksikan, siapa pun orangnya dan latar belakang kebudayaannya, cenderung berkelompok. Itu juga berlaku di lingkungan gereja, sinagoga. Kami tidak berbeda dengan orang lain," ujar Nasar Ahmad Orchid.
Pria ini lahir dari perkawinan campuran antara ibu Pakistan dan ayah Inggris. Dilahirkan di Guyana Inggris (Amerika Selatan), Nasar dibesarkan di Skotlandia. Ia mungkin bisa menjadi contoh dari anggota masyarakat madani yang global.
"Kami berusaha mengumpul sebagai kesatuan tetapi pada saat yang sama penting bagi kami untuk berintegrasi ke dalam masyarakat.
"Sebagai contoh di Inggris, salah satu aspek keislaman yang kita junjung adalah mematuhi hukum yang berlaku di negara ini. Dan sebagaimana saya katakan, kita berintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan di negara yang menjadi rumah kita," tandasnya.
Prinsip itu pula yang dijalankan oleh Nurdin, seorang pemuda kelahiran Dhaka, Bangladesh, yang kini tinggal di London.
"Kami mengikuti ajaran Nabi Muhammad bahwa kita harus bergaul bersama semua orang. Semua orang adalah teman, tak seorang pun menjadi musuh kita. Bahkan mereka yang berusaha membunuh sekalipun juga teman kita. Jadi kita berusaha berteman dengan mereka dan tinggal berdampingan bersama semua orang."
Diakui oleh Nurdin prinsip tersebut tak selalu mudah dijalankan sebab rumahnya terletak di tengah-tengah komunitas Bangladesh yang mayoritas adalah Muslim Sunni di Hackney, London timur. Tak jarang pula ia dicerca dan dipanggil 'si kafir', 'bukan Muslim'.
Tariq Mahmood, seorang mantan akuntan yang kini menyopir taksi, mengaku merasa lebih nyaman dan aman beribadah di masjid komunitasnya, sekalipun karenanya, ia telah kehilangan pekerjaan.
"Ketika saya baru tiba di Inggris beberapa tahun lalu, saya bekerja di toko kelontong milik pengusaha Muslim. Bos saya menyukai saya karena ia bilang saya baik dan penolong.
"Maka setelah beberapa hari, ia selalu mengajak saya menyantap hidangan makan siang bersamanya sampai suatu hari ia tahu bahwa saya pergi salat Jumat ke masjid Ahmadiyah. Saya langsung dipecat saat itu juga," tutur Mahmood.
Di tataran sosial, penganut mazhab Islam yang lahir pada tahun 1889 itu tidak hidup eksklusif dan tidak pula ada seruan seperti itu, kata salah seorang petinggi Ahmadiyah.
"Dalam hal integrasi, komunitas kami mungkin merupakan komunitas yang terkemuka dalam masalah ini."
"Khalifah kami, Mirza Masroor Ahmad, selalu mengingatkan kepada Muslim Ahmadi bahwa kesetiaan kepada negara adalah bagian dari iman, berbakti kepada negara adalah bagian dari iman," jelas Fareed Ahmad, Sekjen Nasional Hubungan Masyarakat Jemaah Muslim Ahmadiyah Inggris, organisasi induk Ahmadiyah internasional.
"Kita perlu membantu semua orang dari segala latar belakang, berintegrasi dan mengulurkan bantuan dan apapun bisa kita lakukan untuk memajukan negara. Muslim Ahmadi yang hidup di Inggris berbakti kepada Inggris, yang di Pakistan berbakti kepada Pakistan. Demikian juga yang hidup di Indonesia."
Seperti di Indonesia, untuk urusan kerohanian jemaah Ahmadiyah di Inggris cenderung pergi ke masjid Ahmadiyah. Di sisi lain mereka menyatakan masjid mereka terbuka bagi jemaah Muslim non-Ahmadiyah.
Berbeda dengan di Indonesia, yang lembaga tertinggi urusan agama Islam-nya (MUI) menyatakan terang-terangan bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam, Muslim Council of Britain (MCB) atau Majelis Muslim Inggris tidak secara gamblang menyebut Ahmadi bukan Muslim.
MCB menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak memenuhi syarat berafiliasi dengan, atau diwakili oleh MCB, karena perbedaan keyakinan soal kenabian, dan tak boleh ada tekanan untuk menyebut Ahmadiyah sebagai Muslim.
Namun sikap seperti itu, sebagaimana dialami oleh Nurdin, Tariq Mahmood dan penganut Ahmadiyah lainnya, sudah cukup menimbulkan implikasi negatif bagi mereka dalam kehidupan sosial sesama umat Islam di Inggris.