Jumat, 3 Oktober 2025

Beribadah di masjid sendiri, mengapa Ahmadiyah dituding cenderung eksklusif?

Jemaah Ahmadiyah disebut cenderung melakukan salat di masjid sendiri dan hidup berkelompok, yang kerap digunakan sebagai landasan oleh sebagian

Dari penjelasan di atas, mungkin dapat dipahami jika Syahidin tidak pergi ke masjid non-Ahmadiyah.

"Kami ini sudah dikafirkan jadi seandainya salat di belakang mereka maka berbagai kata yang dikatakan tentang kami akan muncul dalam pikiran ketika sedang salat. Di mana letak kekhusyukan itu?"

Syahidin kini justru menunggu adanya terobosan dari pemerintah dan lembaga keagamaan seperti MUI.

"Hati ini sudah luka, kita sudah mendengar berbagai kata baik dari oknum tokoh agama yang bilang kami kafir dan sesat. Lebih-lebih MUI yang menyatakan kami sesat dan menyesatkan.

"Seandainya sekarang mereka mengatakan 'orang Ahmadiyah itu Islam, SKB dicabut'. 'Ahmadiyah itu setelah saya teliti ternyata Islam' maka kami akan salat di belakang mereka."

"Akan terhapus kata-kata yang mengkafirkan kami, yang mengatakan syahadatnya lain, kitabnya lain, tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai nabinya".

Inklusif di tataran sosial

Seorang warga yang tinggal tidak jauh dari Wisma Transito, Iqbal, mengaku sering berinteraksi dengan pengungsi Ahmadiyah dan saling bersalaman pada hari raya.

"Di pasar, ibu-ibu bukan Ahmadiyah juga membeli barang-barang dari pedagang pengungsi," ceritanya.

Peneliti Ahmadiyah, Catur Wahyudi, dari Universitas Merdeka Malang menemukan bahwa di luar masalah peribadatan, komunitas Ahmadiyah mempunyai inklusifitas cukup kuat.

"Mereka terhadap pihak lain, masih saling membantu dalam hajatan, berkelompok dalam arisan, gotong-royong, saling menjenguk saat sakit, buka puasa bersama, halal bil halal, kegiatan peduli sosial, adopsi anak, berbisnis/investasi bersama," papar Catur Wahyudi, memberikan contoh.

Masih menurutnya, Ahmadiyah, dari tataran ormas maupun komunitas memiliki komitmen dan integritas kebangsaan yang tinggi, amat menyokong pemerintahan yang sah, serta memiliki jiwa sosial dan solidaritas yang tinggi sesama umat manusia.

Peristiwa Cikeusik

Di kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, Provinsi Banten, saya mendapati keluarga Muslim Ahmadiyah bermukim berdampingan bersama warga Muslim bukan Ahmadiyah.

Di antara mereka, ada bidan, ada guru dan pedagang. Beberapa pernah diusir dari Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

"Ingatan akan kejadian itu susah hilang karena kejadian itu sangat besar. Kejadian itu kayak tsunami. Kalau ada apa-apa saya kaget, terus kesedihan terulang lagi," ungkap Nayati, perempuan beranak lima itu sambil meneteskan air mata.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved