Sabtu, 4 Oktober 2025

Tarif Cukai Tak Naik, Pemerintah Dinilai Jaga Stabilitas di Tengah Lonjakan Rokok Ilegal

Tarif cukai rokok tak naik. Industri lega, publik kecewa. Rokok ilegal melonjak, negara terancam rugi Rp97 triliun.

Penulis: Reynas Abdila
dok. Bea Cukai
Penindakan terhadap rokok ilegal terus dilakukan oleh Bea Cukai guna memastikan rokok yang beredar di pasaran adalah rokok yang legal, yaitu memenuhi ketentuan di bidang cukai. 

Ringkasan Utama

Pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026. Industri menyebut kebijakan ini menjaga stabilitas dan mencegah lonjakan rokok ilegal, sementara kelompok kesehatan menilai keputusan tersebut merugikan publik dan bertentangan dengan mandat regulasi. Di tengah lonjakan rokok ilegal yang mencapai 46 persen, penegakan hukum dan strategi fiskal menjadi sorotan utama.

  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2026. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan keputusan ini usai berdiskusi dengan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), yang dihadiri perwakilan dari Djarum, Gudang Garam, dan Wismilak, di Jakarta, 26 September 2025.

“Saya sudah ketemu industri rokok GAPPRI. Mereka memberi masukan banyak sekali. Saya minta mereka tulis ulang dan diskusikan agar tidak menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lain,” ujar Purbaya di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2025.

Ia menambahkan, “Sudah, tidak saya ubah. Tadinya saya pikir mau turunin.”

Keputusan ini disambut positif oleh pelaku industri.

Ketua Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia, Heri Susianto, menyebut kebijakan tersebut menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah lonjakan rokok ilegal.

“Kalau cukai naik, pendapatan turun. Kalau diturunkan, pendapatan naik. Kenaikan tarif selama ini justru memperparah peredaran rokok ilegal,” kata Heri kepada wartawan, dikutip Jumat (3/10/2025). 

Ia menekankan bahwa harga tinggi mendorong konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah, merugikan pelaku usaha dan negara.

Data dari Indodata Research Center menunjukkan peredaran rokok ilegal sepanjang 2024 meningkat menjadi 46 persen. Jenisnya meliputi rokok polos tanpa pita cukai, rokok palsu, salah peruntukan, rokok bekas, dan salah personalisasi. Potensi kerugian negara akibat fenomena ini diperkirakan mencapai Rp97,81 triliun.

“Pemberantasan rokok ilegal harus jadi fokus utama. Tanpa penegakan hukum yang serius, keberadaan rokok ilegal mengancam keberlangsungan usaha. Kalau perusahaan tembakau bangkrut, dampaknya ke penerimaan negara juga besar,” tegas Heri.

Ia berharap di bawah kepemimpinan Menkeu yang baru, kebijakan fiskal bisa lebih konsisten dan berpihak pada keberlangsungan industri formal.

Baca juga: DPR Dukung Pembekuan TikTok, Tapi Ingat UMKM Jangan Jadi Korban

Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia, Benny Wahyudi, turut mengapresiasi keputusan pemerintah. 

“Mudah-mudahan dengan tidak naiknya tarif cukai ini, industri hasil tembakau bisa sedikit bernafas, menuju ke recovery,” ujar Benny di Jakarta, Senin, 29 September 2025.

Sementara itu, Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, belum memberikan respons hingga berita ini diturunkan.

Kesehatan: Tarif Tak Naik Dinilai Rugikan Publik

Di sisi lain, keputusan Menkeu menuai kritik dari organisasi kesehatan dan konsumen. Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo, menyebut kebijakan ini menunjukkan pemerintah belum serius menekan dampak kesehatan akibat konsumsi zat adiktif.

“Produksi rokok meningkat, harga makin terjangkau oleh anak-anak dan rumah tangga miskin. Pemerintah gagal paham soal isu kesehatan di balik penerapan tarif cukai,” ujar Rio, dikutip Kompas.com, Minggu, 28 September 2025.

Komnas Pengendalian Tembakau menilai keputusan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Cukai, yang memandatkan tarif cukai rokok sebesar 57 persen dari harga jual.

“Cukai rokok bukan hanya alat fiskal, tapi instrumen pengendalian konsumsi. Jika tidak dinaikkan, pemerintah justru melanggar mandat regulasi,” ujar Sekjen Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, dalam konferensi pers daring, Selasa, 20 September 2025.

Komnas mendesak pemerintah menaikkan tarif minimal 25 persen per tahun sesuai rekomendasi badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO), menyederhanakan golongan cukai, dan menetapkan harga jual eceran tinggi agar rokok tidak terjangkau.

Baca juga: Menkeu Tak Naikkan Cukai Tahun 2026, KADIN: Moratorium Jadi Cara Redam Rokok Ilegal

Ekonom: Penegakan Lebih Efektif daripada Kenaikan Tarif

Prianto Budi Saptono, pengajar Ilmu Fiskal Universitas Indonesia, menilai target penerimaan cukai Rp336 triliun tetap realistis meski tarif tidak naik.

“Optimalisasi bisa lewat penegakan hukum terhadap rokok ilegal, bukan semata kenaikan tarif,” ujar Prianto, Senin, 29 September 2025.

Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut keputusan Menkeu bisa mendorong produksi dan penerimaan cukai, asal dibarengi pemberantasan rokok ilegal.

“Kenaikan tarif tidak selalu meningkatkan penerimaan. Yang penting aktivitas ekonomi dan kepatuhan,” kata Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, dalam forum diskusi di Jakarta, Kamis, 12 Desember 2024. 

Bea Cukai: Operasi Gurita dan Kawasan Industri

Dirjen Bea Cukai Djaka Budi Utama melaporkan bahwa sepanjang 2025, telah dilakukan 5.103 penindakan terhadap rokok ilegal, dengan total 140,8 juta batang disita.

Sebagai strategi baru, Bea Cukai meluncurkan “Operasi Gurita” yang menjangkau seluruh rantai distribusi, dari pabrik hingga kanal daring.

Pemerintah juga merintis kawasan industri hasil tembakau di Kudus dan Parepare, agar produsen kecil bisa masuk sistem legal dan membayar cukai.
 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved