Senin, 29 September 2025

Defisit 30 Persen Pasokan REE Dunia, Indonesia Harus Mulai dari Tambang Rakyat

Jangan sampai krisis energi dan teknologi di masa depan justru menjadi keuntungan bagi negara lain.

Penulis: Erik S
ist
TANAH JARANG - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute. Laporan terbaru dari McKinsey & Company menyebutkan bahwa permintaan terhadap unsur tanah jarang seperti neodymium dan praseodymium akan melonjak drastis dari 59.000 ton pada 2022 menjadi 176.000 ton pada 2035.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyampaikan bahwa Indonesia tak bisa lagi menunggu momentum dari luar negeri untuk bangkit dari ketergantungan teknologi

Dunia sudah bergerak, dan krisis logam tanah jarang magnetik akan menjadi penentu arah industri masa depan.

Laporan terbaru dari McKinsey & Company menyebutkan bahwa permintaan terhadap unsur tanah jarang seperti neodymium dan praseodymium akan melonjak drastis dari 59.000 ton pada 2022 menjadi 176.000 ton pada 2035. 

Namun kapasitas suplai dunia hanya mampu menutupi sekitar 70 persen, sisanya, sebanyak 30%, akan menjadi defisit global yang sangat berisiko bagi industri strategis dunia.

Menurut Haidar Alwi, angka ini bukan sekadar statistik, melainkan peta krisis masa depan yang harus diantisipasi sekarang.

Baca juga: Bukan Sekadar Komoditas, Logam Tanah Jarang Adalah Tiket Indonesia Menuju Kemandirian Teknologi

"Kalau McKinsey sudah menghitung dengan data global, maka kita sebagai bangsa tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu. Justru kita harus mulai dari bawah: dari tambang rakyat, dari potensi lokal, dari hulu yang kita miliki sendiri," kata Haidar Alwi, Kamis (31/7/2025).

Dunia Berebut, Indonesia Harus Berdaulat

Magnet tanah jarang (rare earth elements / REE) adalah tulang punggung bagi motor listrik kendaraan EV, turbin angin, perangkat pertahanan, robot, hingga satelit. Semua teknologi tinggi masa depan bergantung pada logam ini.

Namun sebagian besar penambangan dan pemrosesannya dikuasai oleh China, yang saat ini menyumbang lebih dari 60% produksi dan lebih dari 80% pemurnian REE (rare earth elements) global. Ketika dunia terfokus pada hilirisasi, diversifikasi rantai pasok, dan investasi daur ulang, Indonesia justru masih terjebak dalam tahap eksplorasi dan uji laboratorium.

“Negara-negara besar sekarang sedang panik membangun ketahanan REE. Sementara kita masih sibuk pada tataran koordinasi lintas kementerian yang tak pernah tuntas,” ujar Haidar Alwi.

Sementara itu, McKinsey, firma konsultan manajemen global asal Amerika yang berdiri sejak 1926, bukanlah lembaga biasa. Mereka dikenal dunia karena riset industri yang cermat, digunakan oleh para pembuat kebijakan, investor besar, bahkan pemerintah negara maju.

Ketika McKinsey memperingatkan soal defisit 30% pasokan REE dunia, artinya ada krisis yang sudah mulai terukur secara global. Ini bukan opini sepihak, tapi hasil dari pengumpulan data lintas industri teknologi dan energi.

“Indonesia punya potensi, punya bahan mentah, punya pengalaman tambang. Tapi jika kita tidak segera membangun peta jalan nasional tanah jarang, kita akan kembali jadi bangsa penyedia tanah mentah dan pembeli barang jadi yang mahal,” tegas Haidar Alwi.

Mulai dari Tambang Rakyat, Bangun dari Kaki Sendiri

Bagi Haidar Alwi, solusi tidak harus selalu mahal. Justru ia mengusulkan agar pemerintah segera membuka jalur legal koperasi tambang rakyat khusus logam tanah jarang. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) bisa diarahkan ke wilayah-wilayah yang memiliki tailing atau mineral ikutan REE seperti di Bangka Belitung (timah), Kalimantan Barat (bauksit), dan Sulawesi (nikel laterit).

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan