Selasa, 30 September 2025

Selesaikan ODOL Tak Cukup dengan Penindakan, Perlu Pendekatan Holistik dan Kolaboratif

Penyelesaian masalah truk Over Dimension Over Loading (ODOL) dinilai tidak bisa hanya dilakukan melalui penegakan hukum semata. 

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Sanusi
HO
TRUK ODOL - Narasumber Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mencari Solusi Penerapan Zero ODOL 2026” yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) di Auditorium Kasman Singodimedjo, Selasa (24/6/2025). Penyelesaian masalah truk Over Dimension Over Loading (ODOL) dinilai tidak bisa hanya dilakukan melalui penegakan hukum semata. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penyelesaian masalah truk Over Dimension Over Loading (ODOL) dinilai tidak bisa hanya dilakukan melalui penegakan hukum semata. 

Pemerintah, akademisi, dan pelaku industri menegaskan perlunya pendekatan holistik—melibatkan banyak sektor dan mempertimbangkan berbagai aspek seperti keselamatan, infrastruktur, ekonomi, hingga keadilan sosial.

Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mencari Solusi Penerapan Zero ODOL 2026” yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) di Auditorium Kasman Singodimedjo, Selasa (24/6/2025).

Mewakili Menko Perekonomian Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Analis Kebijakan Ahli Madya Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Edi Susilo, menyatakan pemerintah tengah menyusun sembilan langkah konkret untuk menuntaskan persoalan ODOL.

Langkah-langkah itu antara lain integrasi data angkutan barang berbasis sistem elektronik, pengawasan dan penghapusan pungli di sektor transportasi darat, penguatan jalan khusus logistik di daerah, peningkatan daya saing logistik melalui moda transportasi multimoda dan Insentif/disinsentif bagi operator angkutan barang.

Baca juga: Kemenhub Sebut Truk Boleh Bawa Muatan Banyak, Asal Tidak ODOL

Juga melakukan kajian dampak ekonomi Zero ODOL terhadap inflasi, standarisasi upah dan kondisi kerja pengemudi, harmonisasi regulasi penegakan hukum dan pembentukan Komite Kerja Percepatan Pengembangan Konektivitas Nasional (KP2KN) sebagai unit lintas sektor.

“Penerapan Zero ODOL memang berpotensi menambah biaya distribusi dan menaikkan harga barang, tapi kita butuh roadmap transisi yang matang agar dampaknya bisa ditekan,” ujar Edi.

Pengurus Bidang Pertanian dan Perkebunan APINDO, Asep Setiaharja menyatakan setuju terhadap Zero ODOL.

Namun, dia menyampaikan perlu prasyarat dulu sebelum kebijakan Zero ODOL ini benar-benar diterapkan dan diwajibkan kepada pengusaha.

“Sebagai  Apindo kami perhatikan ekosistem modal itu seperti ini, ada penyediaan infrastruktur, ada infrastrukturnya, ada regulasinya ada penegak hukumnya, kemudian ada manajemen operasional dan sebagainya,” ujarnya. 

Baca juga: Sopir Truk Minta Pemerintah Tidak Gegabah Ingin Segera Terapkan Zero ODOL

Apindo berharap ada deregulasi kebijakan Zero ODOL, kerjasama yang baik dengan semua pihak dan berkeadilan.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), Rachmat Hidayat, saat menjadi pembicara dan Wakil Ketua Umum Kebijakan Publik GAPMMI, Astri Wahyuni sebagai penanggap.

Pelaksanaan Zero ODOL tanpa dukungan kebijakan dan infrastruktur pendukung akan berdampak pada inflasi. 
 
“Kami memperkirakan biaya transportasi, logistik secara total kira-kira 40 persen akan mengalami kenaikan dan itu kenaikan yang menetap seterusnya. Kenapa? Karena harus ada investasi truk baru, investasi sumber daya manusia baru, investasi untuk maintenance yang baru dan seterusnya dan seterusnya. Termasuk biaya tol yang baru, biaya operasional yang baru,” tambah Rachmat.

Sementara, Astri menyampaikan tiga usulan dari GAPMMI dalam penyelesaian ODOL.

Pertama, pembentukan task force lintas stakeholders, baik dari pihak pemerintah maupun pelaku usaha, untuk meneliti kembali dari hulu ke hilir.

Kedua, mengusulkan adanya roadmap terpadu untuk implementasi Zero ODOL.

Ketiga, sebelum implementasi penuh Zero ODOL, GAPMMI berharap dilakukan pendekatan terlebih dulu melalui pembinaan, bukan penegakan hukum secara langsung. 

Pembicara lainnya, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UMJ, Prof. Dr. Taufiqurokhman, S.Sos., M.Si, menyarankan agar pemerintah jangan terlalu keras terhadap para pengusaha dalam menerapkan Zero ODOL ini.

“Saya bikin survei kecil-kecilan. Jadi di era media sosial sekarang, masyarakat cenderung antagonistik. Jadi, semakin Polri, Pemerintah memberikan larangan atau ancaman ataupun sosialisasi, itu akan mengkristal, makin kuat di masing-masing dua antagonis,” ungkapnya. 

Menurutnya, ODOL ini bukan hanya semata kesalahan dari sisi pengusaha.

"Jadi, sebaiknya bisa duduk bareng, solusinya enak dan nanti keluarannya juga enak, tidak saling mengancam, sehingga masyarakat itu terhadap aturan nurut karena memang itu hak dan kewajiban,” tegasnya.

Pakar Transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno, menegaskan selama cara berpikir dan bertindak tidak komprehensif dan parsial serta instan, Indonesia tidak mungkin menuju Zero ODOL.

“Hal itu dikarenakan ODOL adalah masalah kompleks yang harus ditangani sejak dari hulu sampai hilir yang tidak bisa ditangani dengan cara penegakan hukum saja tapi harus melibatkan seluruh kementerian terkait dan pemerintah daerah,” katanya.

Dia mengatakan perlu ada perencanaan jangka panjang seperti Rencana Aksi Nasional keselamatan. Manajemennya adalah termasuk manajemen Keselamatan LLAJ karena penangan ODOL itu bagian dari manajemen Keselamatan LLAJ.

Manajemen Keselamatan LLAJ sudah memiliki format baku atau formatnya sudah ada.

“Jadi, perlu adanya perencanaan jangka panjang seperti RANK (Rencana Aksi Nasional Keselamatan) LLAJ jangka waktu 20 tahun, dan turunan termasuk Rencana Pencegahan dan Penindakan ODOL,” tukasnya.

Sebagai penganggap, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, menyarankan agar pemerintah membenahi terlebih dulu standar mobil kontainer sebelum menerapkan Zero ODOL.

Menurutnya, kalau sekarang muatannya itu di bawah standar internasional. Dia mengutarakan truk-truk logistik itu diimpor sudah dengan memikirkan dari standar keselamatan, efisiensi, dan beratnya pun standar.

Truk dengan standar internasional memiliki lebar 2,5 meter dengan toleransi 5 persen.

“Sekarang ini, standar internasional untuk berat itu malah naik jadi 30 ton dari sebelumnya hanya 20 ton,” tuturnya.

Sementara, kata Gemilang, daya dukung jalan di Indonesia itu tidak mampu dengan barang-barang internasional.

Menurutnya, di Indonesia, daya dukung jalan kelas 1 saja itu hanya 10 ton. 

“Apalagi di Undang-Undangnya disebutkan bahwa daya angkut kendaraan diberikan sesuai dengan daya dukung jalan di daerahnya masing-masing,” tukasnya.

Penanggap lainnya, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menyoroti maintenance jalan tol yang belum pernah dilakukan audit kekuatan jalannya.  

“Itu belum pernah tuh ada audit kekuatan jalan tol. Boleh enggak kita mengaudit jalan tol berapa kekuatan sebetulnya, Berapa jalan tol yang industri itu, berapa jalan tol yang menghubungkan antar kota, kekuatannya, ketebalannya, penggunaan materialnya,” 

Sebelumnya, dalam sambutannya, Rektor UMJ, Prof. Dr. Ma'mun Murod, M.Si, menyampaikan sangat senang ketika ada ide untuk melaksanakan FGD terkait ODOL ini.

“Saya senang sekali, karena setidaknya nanti dari kampus UMJ akan mendapatkan solusi bagaimana menerapkan Zero ODOL itu. Rasanya kalau Zero ODOL beneran itu agak susah diterapkan. Tapi, paling tidak ada penguranganlah, zero korupsi kan tidak mungkin,” ujarnya.

Dia mengatakan salah satu masalah yang agak susah diurai dalam menyelesaikan masalah ODOL ini dengan baik adalah karena masalah ini tidak hanya terkait dengan satu pihak saja melainkan dengan banyak pihak.

“Dan kalau sudah multi seperti itu, biasanya penyelesaiannya tidak gampang. Aturan bisa dibuat dengan baik, tapi ketika penerapannya memang sangat tidak mudah. Butuh keseriusan penanganannya,” katanya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved