Badai PHK
Wacana Bea Masuk Anti Dumping Pukul Industri TPT Nasional, PHK di Depan Mata
Industri TPT nasional sangat bergantung pada ketersediaan POY dan DTY sebagai bahan baku utama untuk pembuatan benang.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Pemerintah mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) dinilai akan merugikan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.
POY dan DTY merupakan bahan baku penting bagi industri tekstil berbasis poliester dan diwacanakan akan dikenaikan tarif tertinggi bea masuk anti dumping sebesar 42,30 persen.
POY dan DTY digunakan secara luas sebagai input utama dalam proses pembuatan kain sintetis dan produk tekstil lainnya. Ketersediaannya yang stabil dan kompetitif sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan dan efisiensi industri hilir, seperti garmen, konveksi, dan tekstil rumah tangga.
Baca juga: Industri Baja Sambut Positif Pemerintah Perpanjang Kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping
Para pelaku usaha TPT nasional berpendapat kapasitas produksi nasional untuk POY dan DTY saat ini masih memerlukan penguatan, terutama dalam aspek volume pasokan, konsistensi kualitas, dan keterjangkauan harga.
"Produk POY dan DTY akan dikenakan BMAD dengan tarif tertinggi sebesar 42,30 persen tentunya akan meningkatkan biaya produksi secara signifikan," ujar Direktur PT Anggana Kurnia Putra, Wilky Kurniawan, salah satu industri TPT nasional.
Dia menegaskan, industri TPT nasional sangat bergantung pada ketersediaan POY dan DTY sebagai bahan baku utama untuk pembuatan benang.
Jika dikenakan bea masuk anti dumping, harga benang akan menjadi mahal dan membuat biaya pembuatan kain juga akan semakin mahal dan pada akhirnya produk pakaian jadi ke konsumen menjadi ikut mahal.
“Dengan mahalnya bahan baku benang akan berdampak pada industri hilir dan semangat menjalankan hilirisasi akan sulit terwujud, apalagi pada pakaian jadi dan barang jadi tidak ada pengenaan BMAD atau Safeguard," ungkap Wilky Kurniawan.
Saat pelaku usaha merasa tidak dapat lagi mempertahankan usahanya, pilihan terakhir, mereka terpaksa melakukan penutupan usahanya dan melakukan PHK.
"Industri TPT nasional akan semakin terpuruk dan gugur satu per satu. Pengenaan bea masuk anti dumping terhadap POY dan DTY hanya menguntungkan segelintir perusahaan” tegas Wilky.
“Biaya produksi yang tinggi dan daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan tantangan Industri TPT nasional semakin berat, sedangkan biaya operasional industri TPT tidak dapat dipangkas, khususnya untuk membayar upah pekerja," kata Wilky Kurniawan.
Dia mengatakan, industri TPT nasional akan semakin terpuruk dan gugur satu per satu jika pemerintah mengenakan bea masuk anti dumping.
Jika harga jual TPT terlampau tinggi akan menurunkan minat beli masyarakat yang mengakibatkan penjualan TPT produksi lokal semakin sulit bersaing.
Di Indonesia, jumlah industri TPT kelompok besar dan sedang saat ini mencapai 5.000 lebih perusahaan. Angka tersebut belum termasuk industri TPT skala mikro-kecil yang jumlahnya hampir 1 juta.
Sebagai informasi, tenaga kerja yang terserap industri TPT mencapai 3 juta lebih di 2024.
Badai PHK
Kapolri Lepas 1.575 Buruh Terdampak Pemutusan Hubungan Kerja untuk Bekerja Kembali |
---|
PHK Januari-Juni 2025 Naik, Wamenaker: Kondisi Global Sedang Tidak Baik-baik Saja |
---|
Pengusaha Curhat ke Wamenker Noel: Saya Setiap Hari Ditanyain PHK, Bagaimana Penyelesaiannya Pak? |
---|
Serikat Pekerja Catat Sudah Ada 78 Ribu Orang di PHK, Tiga Kali Lipat dari Data Kemnaker |
---|
Pemerintah Disebut 'Cuek' Soal Nasib Pekerja Meski Sudah Banyak di PHK, Pengusaha Ungkap Hal Ini |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.