Senin, 6 Oktober 2025

Eksistensi Desa di Tengah Industri Migas

Marwan Jafar menyebut, sumber daya mineral lainnya bisa atau sangat berpotensi menuai berkah maupun masalah sosial-ekonomi dan keamanan

Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
ISTIMEWA
Marwan Jafar Anggota Komisi VII DPR-RI Fraksi PKB 

Oleh Marwan Jafar 
Anggota Komisi VII DPR-RI Fraksi PKB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kita mesti mengingat dengan berkepala dingin, aktivitas sejumlah eksplorasi sumber daya alam (SDA) baik berbentuk penambangan batubara, minyak dan gas bumi, nikel, bauksit, timah, tembaga serta sumber daya mineral lainnya bisa atau sangat berpotensi menuai berkah maupun masalah sosial- ekonomi dan keamanan yang signifikan jika tanpa diiringi penanganan, pengelolaan serta konsep strategi yang baik, transparan dan berkelanjutan.

Salah satu contoh kasus kegiatan besar dari eksplorasi SDA migas di masa lalu yang kemudian memunculkan masalah sosial-ekonomi secara fenomenal dan serius pernah terjadi di Tanah Rencong Aceh.

Khususnya menyusul terkait ditemukannya sumber daya migas atau gas alam air (LNG) di kawasan Desa Arun, Kecamatan Syamtalira, Kabupaten Aceh Utara.

Ladang gas alam ini ditemukan pada awal dekade tujuhpuluhan atau tepatnya menjelang akhir tahun 1971 yang diperkirakan mengandung cadangan gas alam mencapai 17,1 triliun kaki kubik. Lokasi lain ladang gas alam cair ini, terletak di Blang Lancang, Lhokseumawe, Matangkuli Aceh Utara dan di Peusangan Kabupaten Bireuen.

Pada masanya, kilang Arun dan lain-lainnya tersebut dikenal merupakan salah satu perusahaan penghasil LNG terbesar di dunia. Namun pada akhir tahun 2015 PT Arun sudah berhenti beroperasi seiring menipisnya cadangan gas alam yang menjadi bahan baku utama di perusahaan tersebut. Selain itu, saat ini lokasi produksi PT Arun NGL telah dilakukan decommissioning alias kondisi di mana kegiatan operasi produksi  atau eksploitasi migas telah berakhir.

Sekadar kilas balik, sekitar lima tahun setelah penemuan beberapa ladang gas alam cair di Bumi Serambi Mekah pada awal Desember 1976 lahirlah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemicu utama munculnya GAM, selain adanya perbedaan terkait rencana penerapan hukum Islam dan peningkatan pendatang dari Pulau Jawa, faktor ketidakadilan pembagian keuntungan atas eksplorasi SDA gas alam cair antara pemerintah daerah yang merepresentasikan warga masyarakat, pemerintah pusat dan perusahaan asing. Secara karikaturis sering digambarkan banyak warga masyarakat desa setempat yang masih miskin hanya bisa melihat dari luar pagar lokasi eksplorasi SDA.

Pada gilirannya waktu itu mulai muncul gangguan keamanan oleh warga masyarakat yang terorganisir oleh GAM dari waktu ke waktu ke beberapa area eksplorasi SDA dan melebar ke sejumlah lokasi. Sekadar contoh nyata terkait biaya pengamanan sebuah lokasi proyek eksplorasi--saat itu yang tengah dikelola oleh Exxon Mobiloil--pihak GAM pernah menuntut ongkos keamanan sebesar Rp 1 miliar per bulan. 

Jumlah besaran pengamanan proyek ini sama persis dengan anggaran nominal yang dikeluarkan pihak proyek kepada aparat keamanan resmi dalam hal ini pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saat itu. Yang jelas konflik sosial-ekonomi dan keamanan di Aceh tersebut merentang puluhan tahun dan baru terselesaikan melalui sejumlah perundingan antara Pemerintah RI dan GAM serta berakhir pada Perundingan Helsinki 2007.

Perkembangan berikutnya di masa pasca Orde Baru, di era Reformasi hingga sekarang konflik sosial sesungguhnya sempat terjadi di sebagian lokasi eksplorasi penambangan SDA. Ambil contoh konflik yang pernah muncul di Busang maupun Freeport di Papua.

Baca juga: Urgensi Memperluas BBM Satu Harga

Kita bersyukur, pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah serta pihak terkait seperti kementerian dan lembaga relatif dapat berupaya keras serta mampu memecahkan permasalahan dalam sektor komoditi migas secara lebih strategis, terkonsep, profesional, win-win solution serta berperspektif cukup jauh ke depan. 

Buktinya, sejumlah penambangan eksplorasi SDA migas di sejumlah blok di beberapa daerah seperti  Blok Rokan Riau, Blok  Mahakam di Kalimantan telah 'dinasionalisasi' dengan baik serta secara faktual maupun legal-yuridis dalam arti pengambilalihan pengelolaan secara profesional yang sebelumnya dioperasikan oleh sejumlah perusahaan asing seperti Stanvac maupun Totall Indonesie. Terkait ini kita perlu mengapresasi pula karena pemerintah akhirnya mampu menguasai 51 persen kepemilikan saham di PT Freport Indonesia misalnya.

Puaskah kita dalam konteks pencapaian pemecahan masalah di sektor sejumlah lokasi eskplorasi SDA migas tersebut? Tentu saja tidak.

Tapi bergembira dan mensyukurinya tentu juga sudah sewajarnya. Maksudnya, penulis tetap senantiasa serius mengingatkan kita perlu terus mencadangkan sikap kehati-hatian, berwaspada, antisipatif serta tidak cepat berpuas diri atau terlena. Sebab, penyelesaian satu masalah dalam konteks optimalisasi industri migas di masa lalu maupun sekarang, masih tetap berpotensi memunculkan masalah baru yang boleh jadi di luar perhitungan kita sebelumnya.

Buktinya, hari-hari ini kita agak dikagetkan dengan adanya peristiwa kerusuhan yang terjadi di lokasi pabrik perusahaan tambang nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Desa Bunta, Petasia Timur, Morowali Utara, Sulawesi Tengah pada Sabtu malam 14 Januari 2023.

Menurut pemberitaan media, kerusuhan yang sudah mengakibatkan dua orang meninggal dunia dan delapan terluka itu, boleh jadi bersumber pada atau terkait masalah ketenagakerjaan. Sebab, kerusuhan dipicu dari unjuk rasa  oleh Serikat Pekerja Nusantara yang menuntut persoalan mengenai keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), pengupahan serta pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kalau kita mencermati dan membandingkan pengelolaan SDA migas di ranah hulu maupun hilir di masa lalu maupun  sekarang, tidak berlebihan mengatakan tetap saja ada semacam benang merah yang bisa kita tarik sebagai pelajaran secara sosiologis maupun psikologis.

Baca juga: Lewat Muktamar ke-3 KMF, Marwan Jafar Terpilih sebagai Ketua PP Keluarga Mathaliul Falah

Selanjutnya bila kita kaitkan dengan "nasib" keberadaan warga masyarakat--yang dalam hal ini nyaris dipastikan di kawasan pedesaan, pedalaman atau pantai serta notabene masih relatif miskin --di mana di situ ada kegiatan pembangunan sisi hulu maupun hilir SDA migas, maka tidak bisa tidak  spektrum kenyataan interaksi sosial, ekonomi hingga tingkat keamanan wajib menjadi perhatian pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga kalangan investor.

Intinya, diperlukan sejumlah sinergitas yang solid dan konkrit antara kegiatan bisnis oleh entitas perusahaan hulu maupun hilir migas dengan program pembangunan yang sedang dan akan dikerjakan oleh pemerintah setempat.

Terkait sinergitas program ini, juga memerlukan kesepakatan program apa saja dan bagaimana mengerjakannya di tingkat desa, kecamatan serta kabupaten. Dokumen kesepakatan sejumlah program biasanya bisa dirumuskan pada saat digelarnya musyawarah rencana pembangunan (musrenbang)  di level desa hingga kabupaten. 

Manfaat lain dari sinergitas program tersebut antara lain terbangun komunikasi yang baik, koordinasi yang terdeteksi hingga menghindari tumpang-tindih atau overlaping yang tidak perlu.

Pada gilirannya kesepakatan yang memiliki dasar kuat dari musrenbang tersebut dalat akan lebih tepat sasaran serta tidak terjadi dispute antara warga masyarakat dengan entitas keberadaan perusahaan hulu atau hilir migas. 

Yang jelas dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, sejak menjadi pemangku kepentingan di Kementerian Desa-PDT sampai sekarang, penulis tetap concern serta mengkritisi konstruktif kesekian kali mengenai deurbanisasi alias program kembali ke desa membangun dan memodernisasi desa di berbagai sektor hingga subsektor ekonomi. 

Sebagai ilustrasi dan perbandingan, Presiden Jokowi di berbagai kesempatan menegaskan pemerintah Indonesia telah berupaya dan akan terus mewujudkan sejumlah aktivitas pengolahan lebih lanjut alias hilirisasi industri pada komoditas migas, nikel, batubara, tembaga dan lain-lain, kita memahami hal ini dalam konteks di level negara atau bangsa. Nah, bagaimana mewujudkan hilirisasi di tingkat pedesaaan? Apa saja yang mesti dilakukan? Tentu saja sangat banyak pekerjaan dan kegiatan yang bisa dilakukan.

Baca juga: Kader Muda PKB Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Tak Sesuai dengan Semangat Demokrasi

Terkait hal ini, bahkan di tengah masa Pandemi Covid 19 kemarin, penulis sudah menggagas dan mengusulkan agar pemerintah pusat melalui beberapa kementerian terkait dapat berkolaborasi, berkoordinasi menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah hingga pemerintah desa secara lebih konkrit untuk mendorong hilirisasi di sejumlah sub sektor peternakan, pertanian, perkebunan dan perikanan di tingkat rakyat serta sesuai dengan kekuatan sentra produksi di desa, kecamatan dan kabupaten setempat. Saat banyak negara berlomba mencari vaksin penangkal Covid, penulis mencontohkan kita sangat berpeluang mengolah beberapa komoditas tanaman obat yang ditanam warga masyarakat pedesaaan menjadi vaksin obat. 

Hal seperti ini bisa terwujud--termasuk pada komoditas lain di sektor perikanan, peternakan dan pertanian--dengan pendekatan teknologi mutakhir serta mestinya dengan kontribusi oleh perusahaan sektor migas hulu dan hilir. Misalnya terkait penjaminan permodalan atau pembiayaan oleh perusahaan migas yang menggandeng kalangan perbankan. 

Sisi lain, boleh jadi pula perusahaan migas membantu mencarikan investor multinasional dan meyakinkan mereka berinvestasi pada sejumlah komoditas di sektor agrobisnis dan agroindustri alias hilirisasi subsektor perkebunan, peternakan, pertanian dan perikanan tadi. 

Akhirnya bertolak dari narasi di atas, mengingat pengalaman di masa lalu maupun pada akhir-akhir ini serta membandingkan dan setelah memetik pelajaran pentingnya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa eksistensi pemerintah desa sebagai lembaga sosial beserta warga masyarakatnya wajib berinteraksi, berkomunikasi, dan berkolaborasi secara saling menguntungkan dengan keberadaan perusahaan industri migas di hulu atau hilir.

Sejumlah kesepakatan program sosial-ekonomi bernuansa terobosan, kreatif dan inovatif sudah saatnya pula diupayakan secara sungguh-sungguh, berkelanjutan dan berwawasan ke depan oleh kedua pihak atau lebih.  Sudah waktunya kita beranjak dari program  bercita rasa konvensional--yang bukan berarti tidak penting atau menjadi prasyarat buat menjembatani aktivitas sosial ekonomi semisal jalan desa, sekolahan, pasar, puskesmas dan sebagainya--menuju beberapa program yang benar-benar baru dan segar untuk memutakhirkan kemajuan desa serta produktivitas segenap warga masyarakat mulai dari kalangan pelaku UKM produsen berbagai barang dan jasa, peternak, pekebun, petani, nelayan serta sejumlah profesi baru yang mulai bermunculan seiring perkembangan keilmuan maupun teknologi paling mutakhir.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved