Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Program Makan Bergizi Gratis

Tragedi MBG: Populisme Atau Nyawa Anak Bangsa

Ribuan anak jadi korban MBG, namun pemerintah justru fokus pada citra keberhasilan ketimbang tanggung jawab kemanusiaan.

Editor: Glery Lazuardi
TribunBatam.id/ist
MENU MBG - Sejumlah siswa dirawat usai diduga keracunan makanan dari program Makan Bergizi (MBG). Data menunjukkan ribuan anak jadi korban, sementara pemerintah masih sibuk membangun narasi keberhasilan. 

Muhammad Reza Al Habsyi

  • Pengamat Sosial-Politik
  • Penulis

Riwayat Pendidikan

S1: Ilmu Politik Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

S2: Pemikiran Politik Islam Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

TRIBUNNEWS.COM - Program Makan Bergizi (MBG) sejak awal digadang-gadang sebagai salah satu kebijakan unggulan pemerintah dalam meningkatkan kualitas gizi anak bangsa.

Namun, di balik retorika keberhasilan, justru bencana kesehatan publik menghantui pelaksanaannya.

Data terbaru menunjukkan, hingga akhir September 2025 tercatat 6.457 korban dalam 75 kasus menurut Badan Gizi Nasional (BGN). Sementara, catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan menyebut angka yang lebih tinggi, yakni 8.649 anak.

Alih-alih berfokus pada tragedi kemanusiaan ini, pemerintah tampak lebih sibuk melakukan pembenaran.

Menteri HAM Natalius Pigai, misalnya, menyebut kasus keracunan hanya 0,0017 persen dari keseluruhan pelaksanaan program, dan mengklaim 99,99 persen MBG berjalan sukses. Lebih jauh, ia dengan percaya diri menampilkan testimoni sekolah tentang siswa yang menjadi lebih rajin dan pintar. 

Sayangnya, testimoni itu melayang begitu saja tanpa dasar yang jelas, mirip brosur iklan vitamin yang menjanjikan “anak tumbuh tinggi, cerdas, dan berprestasi”.

Di titik ini, apa yang disebut Michel Foucault sebagai “produksi kebenaran oleh kekuasaan” terasa nyata, narasi keberhasilan digunakan bukan untuk memberi solusi, melainkan untuk menutupi luka.

Pernyataan-pernyataan resmi ini memperlihatkan bagaimana korban keracunan direduksi sekadar menjadi angka statistik. Padahal, setiap angka mewakili seorang anak, orang tua yang panik, dan sekolah yang ketakutan.

Di sini tragedi kemanusiaan ditampilkan seperti sekadar catatan teknis yang bisa disapu bersih oleh persentase keberhasilan. Cara pandang semacam ini bukan hanya menyesatkan, melainkan juga memalukan bagi sebuah negara yang mengaku menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Kegagalan MBG tidak semata terletak pada kasus keracunan, tetapi pada desain kebijakan yang cacat sejak awal. Program ini dijalankan tanpa uji publik yang memadai, tanpa pelibatan kepala daerah, guru, sekolah, maupun masyarakat sipil.

Semuanya berjalan satu komando dari pusat, seakan-akan negara dijalankan dengan pola militeristik, bukan demokratis.

Dalam sistem demokrasi, inti utamanya adalah partisipasi publik. Jika prinsip ini diabaikan, kebijakan bukan lagi instrumen kesejahteraan, melainkan sekadar proyek populis yang mengedepankan gengsi. Dalam literatur kebijakan publik, kegagalan semacam ini kerap disebut policy failure yakni ketika tujuan yang dicanangkan tidak sejalan dengan desain, implementasi, dan dampaknya di lapangan.

Kesan yang muncul adalah pemerintah lebih mementingkan citra bekerja ketimbang substansi kebijakan. Tragedi keracunan dianggap collateral damage yang bisa ditoleransi. Padahal, setiap nyawa anak bangsa adalah taruhannya. Jika pemerintah hanya melihatnya sebagai angka kecil di tengah statistik besar, ini menandakan kemerosotan etika dalam tata kelola negara.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya berhenti sejenak dari pola justifikasi, lalu melakukan evaluasi mendalam. Kebijakan publik tidak boleh lahir dari hasrat populis dan kepentingan jangka pendek. Transparansi, partisipasi masyarakat, serta mekanisme pengawasan yang ketat adalah kunci. Tanpa itu, program sebesar apapun hanya akan melahirkan krisis baru, dan dalam kasus MBG, krisis itu adalah tragedi kesehatan yang terus berulang.

MBG mungkin diniatkan sebagai program peningkatan gizi. Namun, dengan pola sentralistik, minim partisipasi, dan lemahnya pengawasan, ia justru menjelma menjadi ancaman kesehatan publik. Saat anak-anak terus berguguran, publik berhak bertanya: apakah negara sungguh peduli pada anak-anaknya, atau hanya peduli pada citra kekuasaan?

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved