Tribunners / Citizen Journalism
Internet dan AI, Empat Strategic Initiative Memperkuat Pers Indonesia
Internet dan AI jadi tantangan pers. Dahlan Dahi ungkap empat strategi kunci agar media tetap kuat menjaga demokrasi di Indonesia.
Nilai-nilai demokrasi, termasuk kebebasan pers dan kesetaraan perempuan serta hak yang sama bagi semua orang, adalah human invention, diciptakan. Dia tidak lahir bersama lahirnya umat manusia. Nilai-nilai tersebut merupakan collective imagination yang ikut dibangun pers dan komponen masyarakat lainnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia (1945) adalah human invention, di mana pers ikut membangun dan merawatnya.
Korupsi adalah kejahatan –dan pers ikut membangun dan merawat pendapat publik yang negatif tentang korupsi. Berbakti kepada orang tua adalah nilai baik, di mana pers ikut membangunnya.
Pers adalah invention yang membentuk peradaban umat manusia hari ini –seperti juga lembaga keagamaan dan kebudayaan. Runtuhnya pers, dengan demikian, juga adalah robohnya salah satu pilar peradaban yang penting. Jadi, setiap usaha memperkuat pers harus dilihat sebagai inisiatif menjaga salah satu pilar peradaban.
Masalahnya, internet —selain manfaatnya— berdampak buruk bagi pers. Dampak itu berlapis. Saling berkaitan. Platform, yang lahir di era internet seperti Google dan Facebook (2004), memberi akses kepada semua orang untuk menjalankan fungsi-fungsi tradisional pers, yakni mencari, mengolah, dan mendistribusikan informasi (atau berita dalam istilah pers).
Dengan itu, wartawan, yang menjadi elemen utama pers, menemukan saingan baru. Bukan sesama pers tetapi warga non-jurnalis. Mereka sama-sama membentuk collective imagination.
Dampak Internet
Platform memberi ruangan yang sama kepada pers dan non-jurnalis mendistribusikan informasi —karena itu juga, peran yang sama membentuk pendapat publik. Dengan bantuan platform, jumlah pembaca, penonton, dan permisa (konsumen) pers meningkat. Begitu juga konsumen informasi dari warga non-jurnalis.
Perkembangan yang bagus? Ya, karena jumlah konsumennya bertambah, jumlah pengaruhnya juga membesar. Masalahnya, warga non-jurnalis, yang mendistribusikan informasi tanpa saringan seketat pers, terkadang menghasilkan misinformasi —atau lebih buruk, disinformasi (informasi yang by design menyesatkan atau menipu publik).
Dari sisi bisnis pers, keberlimpahan sumber informasi mengandung makna hancurnya harga iklan, business model utama pers di Indonesia. Hancurnya harga iklan bisa ditebak hasilnya: industri pers mengalami saturasi, mengalami kesulitan finansial, hal yang mengurangi kemampuannya melahirkan produk jurnalistik yang berkualitas. Dengan kata lain, mengurangi kemampuan pers membangun collective imagination yang baik bagi publik.
Dampak lanjutannya, produk jurnalistik menjadi komoditas, kehilangan uniqueness dan kedalaman. Lebih buruk lagi, pers kehilangan kredibilitasnya. Perannya sebagai sumber utama informasi berkualitas juga berkurang. Selanjutnya, pembaca atau pemirsa berkurang, iklannya berkurang, dan spiral saturasinya makin parah. Inilah yang sedang dihadapi pers Indonesia.
Ada lagi yang lebih buruk. Platfom mengambil alih kontrol atas distribusi informasi —karena itu juga, data pembaca. Dengan itu semua, kita menyaksikan runtuhnya kontrol pers atas pembacanya sendiri. Tragisnya, data pembaca menjadi raw material bagi platform untuk mendistribusikan informasi –juga iklan– kepada pembaca secara lebih personal, karena itu lebih relevan. Personalisasi berita dan iklan adalah kemampuan platform yang sulit ditandingi publisher.
Pengambilalihan kontrol atas pembaca, berikut datanya, berlangsung tanpa kompensasi yang adil atau tanpa kompensasi sama sekali kepada pers (publisher). Situasi itu memungkinkan terjadi karena ada unsur monopoli dari platform dan kurangnya perlindungan hukum dari negara.
Selanjutnya, setelah pembaca dikuasai platform, keruntuhan berikutnya adalah bisnis iklan. Platform kemudian menguasai iklan, bertindak sebagai agensi, dengan menyediakan teknologi yang menghubungkan pemasang iklan dengan inventory milik publisher.
Platform mengendalikan harga iklan —sesuatu yang mungkin, juga karena ada unsur monopoli.
Bukan cuma sebagai agensi, platform juga mencari iklan langsung kepada pemasang iklan. Kemudian, inilah yang terjadi: Secara kolektif, dua platform besar, Google dan Meta, menguasai 75 persen kue iklan digital nasional. Sementara puluhan ribu perusahaan pers berlomba-lomba memperebutkan sisa-sisa kue iklan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kunci Jawaban Modul 3.4 Kebutuhan Teknologi Informasi pada Dunia Pendidikan - Bagian 2, Nilai 100 |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Modul 3.2 Pengenalan Internet Sejak Dini - Bagian 2, Pelatihan PINTAR Kemenag |
![]() |
---|
Dampak Taliban Putus Jaringan Internet dan Telekomunikasi di Afghanistan, Kehidupan Warga Kacau |
![]() |
---|
Menteri Ekraf Teuku Riefky: Ekonomi Kreatif akan Jadi Mesin Baru Ekonomi RI |
![]() |
---|
Aktris Buatan AI Tilly Norwood Mulai Eksis di Dunia Hiburan, Bakal Geser Peran Aktor Manusia? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.