Tribunners / Citizen Journalism
Kebenaran di Simpang Jalan: Keberanian sebagai Etika Baru Berbangsa
Riuh demokrasi bukan sekadar protes, tapi keberanian menghidupi kebenaran demi keadilan dan etika berbangsa yang sejati.
Editor:
Glery Lazuardi
Yohanis Elia Sugianto
- Lahir di Dobo, 2 Maret 1992
- Imam Keuskupan Agung Merauke
- Kandidat Master Filsafat STF Driyarkara
TRIBUNNEWS.COM - Panggung demokrasi kita kembali riuh. Dari Sabang sampai Merauke, jalanan menjadi mimbar, dan kepalan tangan menjadi tanda baca. Spanduk-spanduk dibentangkan bukan sekadar sebagai hiasan, melainkan sebagai manifesto dari kegelisahan kolektif.
Di tengah deru suara rakyat yang menuntut keadilan dari lembaga-lembaga negara yang mereka anggap telah mengingkari amanah, ada satu pertanyaan filosofis mendasar yang sering kali luput dari diskursus publik: Setelah kita merasa menemukan kebenaran, lalu apa?
Menemukan atau meyakini sebuah kebenaran—misalnya, kebenaran bahwa kebijakan X tidak berpihak pada rakyat, atau bahwa lembaga Y telah korup—sesungguhnya barulah langkah pertama.
Media sosial dan ruang-ruang diskusi telah membuat kita menjadi "pencari kebenaran" yang ulung. Data, analisis, dan kesaksian berseliweran, meyakinkan kita akan satu versi realitas. Namun, pengetahuan akan kebenaran itu sendiri bersifat pasif. Ia baru akan memiliki daya ubah ketika bertemu dengan elemen krusial lainnya: keberanian.
Di sinilah letak esensi dari sikap berbangsa yang sejati. Sikap tersebut bukan hanya soal tahu mana yang benar dan salah, melainkan soal keberanian untuk menghidupi kebenaran itu dalam tindakan nyata, sekalipun berisiko.
Alegori Gua dan Demokrasi Kita
Filsuf Yunani Kuno, Plato, dalam mahakaryanya Republik, menyajikan sebuah alegori yang luar biasa relevan dengan kondisi kita hari ini: Alegori Gua. Ia menggambarkan sekelompok tahanan yang seumur hidupnya hanya melihat bayang-bayang di dinding gua dan menganggapnya sebagai realitas. Suatu hari, seorang tahanan berhasil bebas, keluar dari gua, dan melihat dunia nyata yang disinari matahari—inilah "Kebenaran" yang sesungguhnya.
Tugas terberat bagi sang mantan tahanan bukanlah saat ia silau oleh cahaya kebenaran, melainkan saat ia harus membuat pilihan etis: kembali ke dalam gua yang gelap untuk memberitahu teman-temannya, meskipun ia tahu akan dicemooh, tidak dipercaya, bahkan mungkin dibunuh karena dianggap mengganggu zona nyaman mereka dalam ilusi.
Demonstrasi dan berbagai bentuk protes sipil yang kita saksikan hari ini adalah manifestasi dari pilihan etis tersebut. Para mahasiswa, buruh, aktivis, dan warga biasa yang turun ke jalan adalah mereka yang merasa telah "keluar dari gua." Mereka merasa telah melihat "kebenaran" di balik bayang-bayang narasi resmi dan janji-janji politik. Kebenaran yang mereka lihat mungkin adalah potret ketidakadilan, kesenjangan, atau pelemahan institusi demokrasi.
Turun ke jalan adalah wujud keberanian untuk kembali ke "gua" dan berteriak, "Kawan, yang kita lihat selama ini hanyalah bayang-bayang! Ada realitas lain yang lebih benar dan kita harus memperjuangkannya!" Risiko yang dihadapi nyata: label provokator, represi aparat, hingga apatisme dari sesama warga yang masih nyaman dengan bayang-bayang.
Menghidupi Kebenaran sebagai Etika Berbangsa
Dalam konteks berbangsa, "menghidupi kebenaran" berarti menerjemahkan kesadaran personal menjadi aksi kolektif yang konstruktif. Ini adalah sebuah etika yang melampaui sekadar menjadi warga negara yang patuh membayar pajak atau mengikuti pemilu. Ia menuntut lebih.
Menggugat Apatisme. Sikap paling berbahaya dalam sebuah negara bukanlah pemberontakan, melainkan apatisme. Ketika warga negara tahu ada yang salah namun memilih diam karena "takut", "malas", atau "itu bukan urusan saya", maka demokrasi sedang sekarat. Keberanian menghidupi kebenaran adalah antitesis dari apatisme. Ia adalah pernyataan bahwa nasib bangsa adalah urusan setiap individu.
Menuntut Akuntabilitas. Pemerintah dan lembaga negara bukanlah entitas suci yang tak tersentuh. Mereka adalah pemegang mandat rakyat. Keberanian untuk mengkritik dan menuntut pertanggungjawaban saat mandat itu diselewengkan bukanlah tindakan subversif, melainkan wujud tertinggi dari hak dan kewajiban warga negara. Demonstrasi adalah salah satu bentuk—sering kali yang terakhir—dari audit publik terhadap kekuasaan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Peringati Hari Demokrasi Internasional, PVRI: Indonesia Berada di Titik Terendah |
![]() |
---|
Refly Harun: Negara yang Memproses Hukum Orang Bersuara adalah Negara dengan Demokrasi Sontoloyo |
![]() |
---|
Kementerian Hukum Sahkan Kepengurusan DPP PDI Perjuangan Periode 2025-2030 |
![]() |
---|
Hukum Kuat, Demokrasi Sehat—Suara Rakyat, Pilar Negara |
![]() |
---|
Pidato Presiden, Retorika Dialogis atau Represi Simbolis? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.