Tribunners / Citizen Journalism
Program Makan Bergizi Gratis
Perjamuan Sulaiman Dalam Piring Makan Bergizi Gratis
Sebuah kisah penuh hikmah tentang Nabi Sulaiman AS. Sang nabi memohon izin kepada Tuhan untuk menjamu seluruh makhluk di bumi selama satu hari
Oleh: Achmad Fadillah
Pemerhati dan Peneliti Kebijakan Publik
Dalam khazanah agama samawiyah, terpatri sebuah kisah penuh hikmah tentang Nabi Sulaiman AS.
Diberkahi kekayaan dan kekuasaan tak terhingga, sang nabi memohon izin kepada Tuhan untuk menjamu seluruh
makhluk di bumi selama satu hari.
Niatnya mulia, lahir dari hati yang penuh syukur atas kehidupan yang berkelimpahan.
Dengan mengerahkan seluruh sumber dayanya, Sulaiman menyiapkan perjamuan mahabesar.
Hamparan hidangan tergelar di padang luas.
Namun, saat perjamuan dimulai, seekor ikan raksasa muncul dari lautan.
Dengan satu lahapan, ia menelan seluruh hidangan, lalu berkata, "Wahai Sulaiman, aku masih lapar. Biasanya, Tuhanku memberiku rezeki tiga kali lipat dari ini setiap hari".
Seketika, Sulaiman bersujud, mengakui keterbatasan mutlak manusia dihadapan kemahakuasaan Sang Pemberi
Rezeki.
Kisah ini bukan sekadar dongeng. Ia adalah cermin relevan bagi kebijakan publik modern berskala raksasa, seperti program "Makan Bergizi Gratis" (MBG) di Indonesia.
Seperti perjamuan Sulaiman, program ini lahir dari niat mulia: menempa Generasi Emas 2045 dengan mengatasi masalah stunting dan malnutrisi.
Ambisinya tak main-main, menargetkan 82,9 juta jiwa, hampir sepertiga populasi negeri ini.
Baca juga: Siswa Diduga Keracunan MBG di Mamuju, Ada Saus Kedaluwarsa Sejak Februari
Dilema Anggaran: Kuantitas vs Kualitas
Namun, di sinilah gema pertama dari “keterbatasan Sulaiman” mulai terdengar.
Janji awal yang fantastis dengan anggaran Rp 450 triliun dan biaya per porsi Rp 15.000, harus berhadapan dengan realitas kapasitas fiskal negara.
Anggaran tahun pertama dipangkas menjadi Rp 71 triliun, dan biaya per porsi ditekan menjadi rata-rata Rp 10.000.
Pertanyaan krusial pun muncul: cukupkah Rp 10.000 untuk sepiring makanan yang benar-benar "bergizi" saat ini? Para ahli meragukannya.
Di sinilah kontradiksi pertama terungkap.
Upaya mencapai skala kuantitatif yang masif justru berisiko mengorbankan janji kualitatif yang terkandung dalam nama program itu sendiri.
Piring yang sampai ke tangan anak-anak mungkin terisi, namun apakah nutrisinya memadai untuk membangun
generasi unggul?
Baca juga: Pimpinan Komisi IX DPR Minta Tim Investigasi Keracunan Makan Bergizi Gratis Libatkan Unsur Sipil
Mimpi Buruk Logistik dan Kebijakan Sentralisasi
Tantangan tak berhenti di soal anggaran.
Seperti Sulaiman yang harus melayani makhluk di darat dan laut, program MBG berhadapan dengan mimpi buruk logistik di negara kepulauan.
Menjangkau jutaan anak di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T) adalah tantangan monumental.
Kesenjangan infrastruktur menjadi jurang pemisah antara rencana dan realita.
Untuk melayani seluruh target, dibutuhkan sekitar 30.000 dapur umum modern (SPPG) pada 2027, namun hingga pertengahan 2025, jumlah yang operasional berjalan baru di kisaran 1.800 unit.
Di tengah kompleksitas ini, pemerintah memilih model pengelolaan terpusat oleh Badan Gizi Nasional (BGN).
Pendekatan "satu resep untuk semua" ini abai terhadap keragaman kondisi geografis, sosial, dan budaya
Indonesia.
Para analis kebijakan mengingatkan, model kaku dan sentralistik seperti ini rentan inefisiensi dan tidak fleksibel.
Padahal, program serupa yang telah berhasil di Brasil dan India justru menerapkan model desentralisasi, memberdayakan pemerintah daerah dan sekolah untuk mengelola program sesuai konteks lokal.
Puncaknya, masalah kualitas dan keamanan pangan menjadi momok yang menakutkan.
Anggaran per porsi yang minim, ditambah pengawasan yang lemah, telah membuahkan konsekuensi tragis.
Insiden keracunan makanan massal di beberapa daerah, seperti di Sukoharjo, Bandung Barat, dan Kalimantan Utara, adalah alarm keras bahwa ada yang salah dalam rantai pasok dan kontrol kualitas.
Ini bukan lagi sekadar soal efisiensi, tetapi menyangkut nyawa dan kesehatan anak-anak bangsa.
Di balik tragedi ini, mengintai risiko yang lebih sistemik: korupsi.
Dengan anggaran raksasa dan rantai pasok yang rumit, program MBG menjadi lahan subur bagi para "bandit anggaran".
Lembaga riset Celios (2025), dalam penelitiannya, bahkan mengestimasi potensi kerugian negara bisa
mencapai Rp 8,5 triliun hanya pada tahun 2025 jika model terpusat ini dipertahankan.
Angka ini setara dengan lebih dari 12 persen total anggaran tahunan, sebuah kebocoran masif yang bisa melumpuhkan program dari dalam.
Sujud Kebijaksanaan: Jalan Menuju Solusi Berkelanjutan
Melihat berbagai permasalahan yang terjadi dalam implementasi program MBG, jelas bahwa masalahnya bukan terletak pada sektor kebijakannya, melainkan pada paradigmanya.
Kita terjebak dalam krisis imajinasi kebijakan, di mana setiap masalah besar selalu dijawab dengan mega
proyek yang lebih besar, lebih terpusat, dan lebih mahal.
Pola serupa juga terlihat pada proyek infrastruktur lain yang dibangun lebih untuk prestise atau acara jangka pendek daripada kebutuhan riil masyarakat, yang akhirnya membebani APBN.
Lalu, apa yang kita bisa pelajari sebagai sebuah solusi?
Belajar dari kisah Nabi Sulaiman, jawabannya terletak pada momen terpenting: sujudnya.
Dalam konteks kebijakan publik, sujud bukanlah tanda kekalahan, melainkan puncak kebijaksanaan.
Ia adalah pengakuan rendah hati atas batas kemampuan kendali terpusat dan penghormatan terhadap
kompleksitas sistem yang ada di masyarakat.
Hal ini, menuntut pergeseran fundamental peran negara: dari penyedia (provider) tunggal yang serba bisa, menjadi pemungkin (enabler) yang cerdas dan fasilitatif.
Tujuannya bukan lagi membangun mesin birokrasi raksasa untuk memproduksi dan mendistribusikan makanan, melainkan menciptakan ekosistem di mana solusi-solusi lokal yang terdesentralisasi, tangguh, dan organik dapat tumbuh subur.
Secara konkret, hal ini berarti beberapa hal.
Pertama, prioritaskan penargetan strategis alih-alih ambisi universal yang membabi buta.
Akui keterbatasan sumber daya dan fokuskan program pada wilayah dengan tingkat kemiskinan dan stunting tertinggi. Ini jauh lebih adil dan efisien.
Kedua, rangkul pemberdayaan terdesentralisasi.
Berikan kewenangan kepada pemerintah daerah, sekolah, dan komunitas lokal untuk mengelola pengadaan, menu, dan pengawasan.
Ini akan memotong rantai birokrasi yang rumit, menghidupkan ekonomi lokal secara nyata,
dan mengurangi risiko korupsi.
Ketiga, utamakan kualitas dan keberlanjutan di atas kecepatan dan skala.
Sebelum berekspansi, selesaikan dulu masalah fundamental terkait keamanan pangan, standar gizi, dan mekanisme pengawasan yang transparan.
Bangun pondasi yang kokoh, bukan istana pasir yang megah namun rapuh.
Pelajaran dari Nabi Sulaiman, juga mengajarkan bukan untuk berhenti berambisi.
Memberantas kelaparan adalah cita-cita yang harus terus kita perjuangkan.
Namun, kisah itu mengajarkan bahwa kekuatan sejati sebuah pemerintahan tidak diukur dari kemegahan gestur kebijakannya, melainkan dari kebijaksanaannya untuk memahami kompleksitas, kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan, dan kemampuannya untuk memupuk kekuatan yang sudah ada di tengah rakyatnya.
Inilah jalan untuk beralih dari perjamuan agung yang sesaat menuju sistem berkelanjutan yang menopang bangsa dari akarnya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Program Makan Bergizi Gratis
Keracunan MBG di Cipongkor: Ratusan Siswa Menumpuk di GOR, Ambulans Hilir Mudik |
---|
Gejala Keracunan Massal Pelajar Usai Menyantap Sajian MBG di Cipongkor: Mual, Muntah, Sesak |
---|
Siswa Keracunan MBG Kembali Terjadi di Cipongkor Bandung Barat, Berasal dari Dapur Berbeda |
---|
Cak Imin Belum Dengar Ada Rencana Penyetopan Program MBG Seusai Marak Siswa Keracunan |
---|
Cak Imin Minta BGN Selesaikan Permasalahan 5.000-an Anak yang Keracunan MBG |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.