Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

8 Dekade: QUO VADIS RRI

RRI genap 80 tahun. Di tengah gempuran digital, publik bertanya: masih relevan atau hanya gema masa lalu yang makin pelan?

|
Editor: Glery Lazuardi
Hand-over
EKO WAHYUANTO - Dosen Sekolah tinggi ST-MMTC Kondigi Yogyakarta (Hand-over). Genap 80 tahun, RRI menghadapi tantangan eksistensial di era digital. Dari saksi sejarah kemerdekaan, kini diuji relevansinya sebagai media publik. 

Artinya transformasi ke arah media modern berbasis digital mutlak, tak bisa ditawar lagi.

Bagaimana dengan RRI?

Berbagai kalangan menilai RRI masih terjebak dalam lanskap siaran konvensional, dengan proses bisnis lama kental birokrasi, sehingga lambat.

Akibatnya, disaat podcast independen muncul, kanal berita digital menjamur menangkap atensi publik, RRI justru terkesan terseok, minim inovasi, miskin strategi digital, dan kerap tertinggal narasi. Tak hanya soal format, tetapi juga keberanian memainkan peran sebagai media penyeimbang di tengah riuhnya polarisasi informasi.

Posisi sebagai media publik harusnya  menjadi transfer dan rujukan. Ingat, anggaran disiapkan APBN, diperuntukan membangun narasi-narasi yang bukan hanya mencerdaskan tetapi juga mengedukasi publik, tanpa kehilangan integritas.

Natalie Fenton, profesor komunikasi dari University of London, menegaskan bahwa “media publik masa kini harus mampu “menguasai ruang digital tanpa kehilangan integritas jurnalistiknya.”

 Inilah tantangan lain yang harus dibaca RRI sebagai maklumat perubahan. Sebab hadir di ruang digital lebih bermakna, bukan formalitas, apalagi sekedar menggugurkan tugas, yang diamanatkan undang-undang.

Redundansi Program dan Struktural

Masalah RRI bukan hanya kultural, tetapi juga struktural. Ketergantungan pada APBN membuat rentan secara politik, sementara struktur birokrasi kaku menahan laju inovasi. Semua SDM RRI adalah ASN.

Sebagai Aparatur Sipil  Negara, mereka tunduk regulasi ASN. Sebagai awak media, mereka dituntut profesional, independen, dan berani menyuarakan kepentingan publik, tanpa dibayangi sanksi sebagai ASN.

Paradoks lain soal redundansi program. Apa yang dilakukan RRI juga dilakukan LKBN Antara dan TVRI, dua lembaga milik negara yang sama-sama dibiayai APBN. Meski untuk Antara melalui skema Public Service Obligation - PSO.

Dituding sebagai sumber pemborosan uang negara  memperparah efisiensi. Ketiga media itu menggarap target segmen sama, tanpa kolaborasi dan arah strategis bersama.

Selain BBC, model seperti NHK Jepang dan CBC Kanada bisa jadi “benchmarking.” Bahwa integrasi platform media publik bisa efektif bila dikelola dengan visi misi yang jelas dan tata kelola profesional.

Bertolak alasan itu, wacana penggabungan ketiga media dalam “Indonesia Media Group” bisa jadi solusi. Memang tidak mudah, tetap menyimpan risiko.

Belajar dari India, penggabungan radio dan televisi milik pemerintah menjadi media baru bernama Prasar Bharati justru menimbulkan konflik baru. 

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved