Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pidato Presiden, Retorika Dialogis atau Represi Simbolis?

Pidato Presiden Prabowo 31 Agustus 2025 tegaskan negara dengar aspirasi rakyat, koreksi DPR, namun keras terhadap aksi anarkis.

Editor: Glery Lazuardi
/Kompas TV
PRABOWO SUBIANTO - Presiden Prabowo saat menyampaikan pidato pada 31 Agustus 2025, menyinggung kebebasan berpendapat dan sikap tegas terhadap anarkisme. (Tangkapan Layar Kompas TV/Soure: Viory/HO) 

Angga T. Sanjaya

Dosen Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta

Penulis dan akademisi Indonesia yang aktif di bidang sastra, budaya, dan komunikasi

Pidato Presiden, Retorika Dialogis atau Represi Simbolis?

TRIBUNNEWS.COM -  Pidato Presiden Prabowo pada 31 Agustus 2025 hadir dalam situasi yang penuh ketegangan. 

Beberapa hari sebelumnya, publik dihentak dengan meledaknya demonstrasi di sekitar kompleks DPR, sebagian berlangsung damai, sebagian lagi berubah menjadi anarkis dengan perusakan fasilitas umum dan penjarahan.

Luka kolektif ini masih terasa ketika Presiden berbicara, masyarakat yang turun ke jalan membawa kegelisahan terhadap kebijakan DPR, sementara elite politik sibuk melakukan klarifikasi dan manuver untuk meredam gejolak.

Prabowo membuka dengan penekanan bahwa negara menghormati kebebasan berpendapat. Ia menegaskan bahwa kesalahan aparat telah ditindak, beberapa kebijakan DPR dicabut, dan partai-partai memberi sanksi kepada anggotanya yang melontarkan pernyataan keliru. 

Narasi ini penting, sebab ia mencoba menegakkan pesan bahwa negara bukan entitas bisu yang hanya menyuruh rakyat diam, melainkan entitas yang mau mendengar, mengoreksi, bahkan mengakui kesalahan. 

Namun di sisi lain, pesan ini juga bisa dibaca sebagai strategi penataan ulang citra, bahwa negara masih hadir sebagai penjamin demokrasi, walaupun realitas di lapangan menunjukkan banyak luka yang ditinggalkan.

Pidato itu lalu masuk pada batas yang jelas, aspirasi damai dipersilakan, tetapi anarkisme dianggap kriminalitas yang harus ditindak tegas. Dari sinilah muncul dialektika yang menarik. 

Di satu sisi, Prabowo ingin membangun narasi keseimbangan antara demokrasi dan ketertiban, tetapi sekaligus meletakkan garis tegas tentang batas kebebasan.

Dengan gaya khasnya yang lugas, ia bahkan menyebutkan secara eksplisit perintah kepada TNI dan Polri untuk bertindak tegas terhadap perusakan, penjarahan, dan kekerasan. 

Di saat yang sama, ia menyerukan dialog, gotong royong, dan semangat menjaga persatuan. Inilah paradoks wacana: sebuah pesan yang di satu sisi memanggil kedamaian, di sisi lain mengeraskan ancaman terhadap ketidaktaatan.

Bahasa, Kognisi Sosial, dan Konteks Kekuasaan

Jika memakai kacamata Teun A. van Dijk Ideology and Discourse (2012:11-12), pidato presiden bukan sekadar rangkaian kalimat, melainkan konstruksi wacana yang lahir dari kognisi sosial tertentu dan ditujukan untuk memengaruhi konteks sosial yang lebih luas.

Van Dijk menegaskan bahwa wacana politik selalu terkait dengan cara elite memproduksi makna untuk mengarahkan opini publik.

Dalam pidato ini, kita bisa membaca bahwa Prabowo berusaha mengatur kerangka interpretasi atas demonstrasi, bahwa ada aspirasi murni yang sah, dan ada anarkisme yang harus ditolak. 

Dengan cara itu, ia menyaring kesadaran publik agar tidak memandang demo sebagai kesatuan, melainkan membedakan antara “yang benar” dan “yang salah.”

Kognisi sosial yang dibangun adalah citra negara yang mendengar sekaligus melindungi. Negara digambarkan sebagai institusi yang terbuka terhadap kritik, mau mengoreksi DPR, menghukum aparat yang salah, tetapi pada saat yang sama juga digambarkan sebagai “bapak pelindung” yang wajib menjaga ketertiban. 

Dikotomi ini penting, sebab ia memosisikan pemerintah bukan sebagai musuh rakyat, tetapi sebagai penengah yang bijak. Dari sudut pandang Van Dijk, strategi ini bekerja di level representasi mental: publik diarahkan untuk memandang pemerintah sebagai mitra, bukan lawan.

Namun, di balik representasi ini, ada konteks sosial kritis yang perlu dibaca. Pidato tersebut muncul setelah legitimasi DPR dan aparat keamanan mendapat pukulan hebat. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan, presiden perlu hadir untuk menutup defisit legitimasi itu.

Dalam bahasa Bourdieu, pidato presiden adalah upaya menggunakan modal simbolik, yaitu otoritas bahasa kepala negara yang bisa memaksa realitas diterima. Saat Prabowo berkata “kami mendengar dan akan menindaklanjuti,” ia sedang mengaktivasi modal simboliknya untuk mengikat kembali kepercayaan publik.

Tetapi modal simbolik ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia bekerja dalam medan sosial yang penuh resistensi. Media sosial, misalnya, memperlihatkan banyak komentar skeptis.

Di sinilah retorika politik sedag bertarung dengan memori kolektif masyarakat tentang janji-janji yang tidak ditepati, tentang kekerasan aparat yang berulang, tentang elite yang kerap mengamankan diri. Pidato Prabowo, betapapun tegasnya, tidak bisa dilepaskan dari kerangka besar sejarah paradoks ini.

Dialog, Simbol, dan Risiko Demokrasi

Pidato Prabowo juga menarik jika dibaca dari sisi etika dialogis. Ia berulang kali menyerukan agar aspirasi disampaikan secara damai, bahwa pemerintah akan mendengar dan mencatat. 

Seruan ini tampak ideal, negara mengakui hak rakyat untuk bersuara, bahkan mengundang tokoh masyarakat dan mahasiswa untuk berdialog. Tetapi justru di sini letak pertaruhannya. Dalam praktik demokrasi kita, sering kali janji dialog hanya berhenti pada seremoni, sementara substansi kritik tidak benar-benar mengubah kebijakan. 

Ketika presiden mengajak dialog tetapi di saat yang sama memerintahkan tindakan keras terhadap “anarkis,” publik bisa merasakan ambivalensi, apakah dialog ini sungguh terbuka, atau hanya strategi menenangkan amarah?

Namun, di balik segala kerumitan itu, pidato Prabowo juga memperlihatkan satu hal penting, bahwa pemerintah tidak bisa lagi menutup diri dari sorotan publik. Kekuatan media sosial, tekanan massa, dan opini kritis membuat negara harus merespons dengan bahasa akomodatif. 

Ia mungkin mengandung paradoks, tetapi paradoks itu justru mencerminkan dinamika demokrasi kita hari ini. sebuah ruang yang selalu diperebutkan antara janji ketertiban, tuntutan kebebasan, dan permainan kuasa simbolik.

Maka, kita patut bertanya, akankah pidato Presiden Prabowo ini benar-benar menjadi tonggak bagi terbukanya ruang dialogis, ataukah ia hanya sekadar seremoni retoris yang membungkus tindakan represi simbolik?

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved