Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Indonesia Berlayar dengan Dua Mata Terbuka

Indonesia di persimpangan sejarah: pembangunan besar butuh kepekaan rakyat agar arah tak tersesat di peta resmi.

Editor: Glery Lazuardi
ISTIMEWA
Setyo Budiantoro - Fellow IDEAS–UID MIT Sloan School of Management, Advisory Committee Fair Finance Asia, dan SDGs–ESG Expert di Indonesian ESG Professional Association (IEPA) dan The Prakarsa 

Setyo Budiantoro

Fellow IDEAS–UID MIT Sloan School of Management, Advisory Committee Fair Finance Asia, dan SDGs–ESG Expert di Indonesian ESG Professional Association (IEPA) dan The Prakarsa

TRIBUNNEWS.COM - Delapan puluh tahun setelah Proklamasi, Indonesia berada di persimpangan sejarah yang hanya datang sekali dalam satu generasi. 

Di hadapan terbentang peluang langka: menjadi negara maju sebelum seratus tahun kemerdekaan, memimpin rantai pasok global yang tengah bergeser, dan mengambil posisi strategis dalam transisi dunia menuju ekonomi rendah karbon.

Pilihan arah telah jatuh pada kapal besar bernama developmental state (negara pengarah pembangunan)—negara yang hadir dengan kendali kuat, mengarahkan industri, membangun infrastruktur raksasa, dan mengorkestrasi investasi layaknya konduktor yang menuntun harmoni orkestra.

Namun, setiap pelaut berpengalaman tahu bahwa peta bukanlah lautan. Garis-garis tegas di meja perencana tidak selalu menangkap arus bawah, perubahan angin, atau awan gelap di kejauhan. 

Developmental state cenderung seeing like a state—melihat dari ketinggian, di mana segalanya tampak teratur, seperti yang disampaikan James Scott. Penting, tetapi tidak cukup.

Agar kapal besar ini tiba di pelabuhan sejarah, perlu ditambahkan satu lensa lagi: seeing like a citizen. Ini adalah kemampuan menangkap realitas sehari-hari yang sering luput dari dokumen resmi: tanda-tanda daya beli yang berubah di pasar, adaptasi petani terhadap cuaca, atau inovasi kecil yang lahir di bengkel desa. Semua itu adalah potongan mozaik yang, jika dirangkai, memberi peta yang lebih hidup dan akurat.

Peristiwa demonstrasi besar yang melibatkan seluruh komponen masyarakat di Pati baru-baru ini menjadi pengingat bahwa tanda-tanda itu tidak bisa diabaikan.

Gelombang suara rakyat adalah bagian dari peta yang hidup—memberi arah, mengoreksi haluan, dan menuntut agar kebijakan tidak hanya tepat di atas kertas, tetapi juga tepat di hati dan realitas masyarakat.

Sejarah kita pernah memberi contoh yang kuat. Soekarno, dalam perannya sebagai “penyambung lidah rakyat”, bukan sekadar juru bicara.

Ia turun ke sawah, berdialog dengan Marhaen—petani kecil yang menjadi simbol rakyat jelata—dan dari sana memetik arah politik ekonomi. Ia memandang dari atas untuk membaca arah zaman, tetapi juga melihat dari bawah untuk memastikan arah itu berpijak pada kenyataan.

Pendekatan ini—berdiri di tengah rakyat namun mampu membaca seluruh sistem—adalah inti dari kepemimpinan yang peka terhadap tanda-tanda perubahan. Dalam bahasa hari ini, inilah kemampuan sensing (kepekaan menangkap sinyal perubahan): membaca tanda-tanda lemah sebelum menjadi gelombang besar.

Dan lebih jauh lagi, presencing yaitu menghadirkan masa depan yang ingin diwujudkan ke dalam keputusan hari ini, pemaknaan yang dinisiasi Otto Scharmer. Ini adalah kemampuan tidak hanya bereaksi pada perubahan, tetapi juga menjemput arah baru sebelum ia tiba.

Tanpa sensing dan presencing, kapal bisa terjebak dalam blindspot (titik buta) yaitu merasa aman karena semua indikator terlihat hijau, padahal badai sedang membentuk diri di cakrawala.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved