Tribunners / Citizen Journalism
Pancasila, Konstitusi, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Tanggal 18 Agustus diperingati sebagai Hari Konstitusi, sebuah momentum untuk merefleksikan sejauh mana konstitusi kita yakni UUD 1945.
Editor:
Hasanudin Aco
Keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan bukanlah jargon politik, melainkan prasyarat mutlak agar demokrasi dapat berjalan secara substansial. Tanpa Pancasila sebagai pedoman, konstitusi dan pemilu kita hanya akan menjadi alat kekuasaan yang berpotensi memecah belah, bukan menyatukan.
Schmitt juga menyoroti peran otoritas dalam menjaga tatanan politik. Menurutnya, sebuah pemerintahan yang efektif harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan politik yang sulit, terutama di masa krisis.
Dalam demokrasi kita, sering kali para pemimpin justru sibuk membangun koalisi demi kekuasaan, bukan demi kepentingan rakyat. Hal ini mengakibatkan otoritas politik menjadi lemah dan tidak mampu mewujudkan kehendak rakyat yang berdaulat secara nyata.
Pada akhirnya, tantangan terbesar kita bukan pada sistem, melainkan pada komitmen kita untuk mewujudkan demokrasi yang berlandaskan nilai. Demokrasi yang hidup adalah demokrasi yang mampu menjembatani perbedaan, mengutamakan keadilan, dan mendengarkan suara rakyat, bukan hanya pada saat pemilu, tetapi setiap saat.
Pancasila sebagai Kompas Masa Depan
Pancasila bukan sekadar dasar negara. Ia adalah kompas moral dan ideologis yang seharusnya menuntun arah pembangunan bangsa.
Ketika Bung Karno mengajukan Pancasila dalam sidang BPUPKI, ia membayangkan Indonesia sebagai negara gotong royong—negara semua buat semua, bukan satu untuk satu.
Dalam konteks kekinian, Pancasila menjadi semakin relevan. Ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, perpecahan sosial, dan digitalisasi yang tak terkendali membutuhkan panduan nilai yang kuat. Kita butuh semangat keadilan sosial untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan.
Kita butuh nilai kemanusiaan untuk menghadapi dampak krisis iklim. Kita butuh demokrasi yang berbasis musyawarah, bukan sekadar mayoritas.
Jika konstitusi kehilangan jiwa Pancasila, maka ia hanya menjadi alat hukum tanpa arah moral. Jika konstitusi dihidupkan kembali oleh nilai-nilai Pancasila, maka ia bisa menjadi jalan menuju transformasi bangsa yang lebih berkeadaban.
Mewujudkan Konstitusi yang Responsif
Dalam pandangan Carl Schmitt, konstitusi bukanlah teks yang beku, melainkan sebuah "keputusan politik fundamental" (die politische grundentscheidung) yang merefleksikan kehendak politik suatu bangsa.
Oleh karena itu, konstitusi haruslah dinamis dan responsif terhadap perubahan zaman, namun tetap berpegang teguh pada fondasi ideologisnya. Perubahan sosial, teknologi, dan tantangan global membuat kita perlu terus mengevaluasi sistem ketatanegaraan yang ada.
Schmitt menekankan bahwa setiap perubahan pada konstitusi harus dilihat dari kacamata politik. Pertanyaannya bukanlah "Apakah pasal ini perlu diubah?", melainkan "Apa konsekuensi politik dari perubahan ini?".
Wacana perubahan konstitusi, seperti penguatan MPR atau penetapan Pokok-Pokok Haluan Negara, harus dianalisis secara mendalam.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kunci Jawaban Pendidikan Pancasila Kelas 4 SD Kurikulum Merdeka Halaman 122: Bermain Tebak-tebakan |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Pendidikan Pancasila Kelas 4 SD Kurikulum Merdeka Halaman 55: Ayo Menulis |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Pendidikan Pancasila Kelas 4 SD Kurikulum Merdeka Hal 14-15: Bernyanyi Indonesia Bisa |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Pendidikan Pancasila Kelas 4 SD/MI Kurikulum Merdeka Halaman 6, Bab 1: Ayo, Menulis |
![]() |
---|
Kementerian Hukum Sahkan Kepengurusan DPP PDI Perjuangan Periode 2025-2030 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.