Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pancasila, Konstitusi, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Tanggal 18 Agustus diperingati sebagai Hari Konstitusi, sebuah momentum untuk merefleksikan sejauh mana konstitusi kita yakni UUD 1945.

Editor: Hasanudin Aco
Fransiskus Adhiyuda/Tribunnews.com
HARI KONSTITUSI - Politisi PDIP Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH berbicara kepada pers beberapa waktu lalu. Hari ini, I Wayan menyampaikan pandangannya soal Hari Konstitusi 18 Agustus. 

Bung Karno memahami betul hal ini. Bagi beliau, konstitusi bukan sekadar dokumen hukum, tetapi “alat perjuangan revolusioner” yang harus membawa rakyat menuju keadilan sosial.

Dalam pandangannya, Pancasila adalah jiwa konstitusi. Tanpa Pancasila, konstitusi kehilangan rohnya.

Dalam pandangan Schmitt, Pancasila dapat dilihat sebagai ideologi dasar yang menjadi landasan bagi keputusan politik fundamental bangsa.

Ia adalah panduan yang menentukan siapa "kita" sebagai bangsa dan bagaimana tatanan sosial-politik kita harus dibangun.
Namun, di sinilah letak ironi terbesar.

Konstitusi yang seharusnya menjadi jaminan keadilan sosial, justru sering kali menjadi formalitas kosong di hadapan praktik politik yang pragmatis. Intoleransi mengikis nilai Ketuhanan, kekuasaan mengalahkan Kemanusiaan, dan ketidakadilan membuat sila Keadilan Sosial hanya menjadi jargon politik.

Demokrasi yang Kehilangan Arah

Demokrasi modern sering menghadapi paradoks: rakyat bebas memilih, namun suara mereka sering tak didengar setelah pemilu.

 Kondisi ini menunjukkan bahwa demokrasi prosedural kita berjalan, tetapi demokrasi substansial masih jauh dari harapan.

Dalam pandangan Schmitt, demokrasi bukanlah sekadar sistem pemilu, tetapi wujud dari kehendak rakyat yang berdaulat (die politische einheit).

Baginya, demokrasi sejati adalah kesamaan substansial (homogenitas) antara yang memerintah dan yang diperintah. 

Proses politik—seperti pemilihan umum—hanyalah sarana untuk mewujudkan kesatuan ini. Jika pemilu justru memicu perpecahan, politik uang, atau kooptasi oligarki, maka ia gagal menjalankan fungsi dasarnya.

Situasi ini memperlihatkan bahwa konstitusi saja tidak cukup. Kita butuh pemaknaan ulang terhadap nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara. Demokrasi tanpa arah nilai hanya akan menghasilkan rutinitas pemilu tanpa perubahan nyata.

Schmitt berpendapat bahwa setiap tatanan politik membutuhkan ideologi dasar yang mengikat masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah ideologi dasar tersebut. Ia adalah fondasi yang menciptakan kesamaan substansial di antara keberagaman.

Saat demokrasi kita menjadi rutinitas tanpa arah nilai, Pancasila dapat dilihat sebagai keputusan politik fundamental bangsa yang perlu dihidupkan kembali.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan