Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Swasembada Pangan di HUT Kemerdekaan ke-80: Rekam Jejak 7 Bulan Pemerintahan Prabowo

Refleksi semangat kemerdekaan melalui pencapaian ketahanan pangan yang bersejarah.

Editor: Content Writer
Istimewa
SWASEMBADA PANGAN - Johan Rosihan, Anggota Komisi IV DPR-RI; Wakil Ketua Badan Penganggaran MPR-RI. 

Salah satu terobosan paling fundamental yang layak mendapat apresiasi tinggi adalah pembenahan total sistem distribusi pupuk bersubsidi yang selama ini menjadi momok bagi petani Indonesia. Stok pupuk nasional kini mencapai 314?ri kebutuhan minimum dengan alokasi 9,5 juta ton untuk 2025, angka yang mencerminkan komitmen serius pemerintah untuk memutus rantai kelangkaan yang selama ini merugikan petani.

Transformasi ini dimulai dari diagnosis yang akurat terhadap akar masalah. Indonesia menghadapi defisit struktural pupuk yang membutuhkan 13+ juta ton per tahun namun hanya memproduksi 3,5 juta ton domestik. Gap ini selama bertahun-tahun diisi melalui impor yang rentan terhadap volatilitas harga global dan manipulasi oleh kartel internasional.

Yang lebih revolusioner adalah implementasi Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 yang mulai berlaku efektif 1 Agustus 2025. Peraturan ini memperkenalkan sistem "titik serah" yang secara radikal mengubah paradigma distribusi pupuk. Sistem baru ini langsung menghubungkan petani dengan pupuk tanpa melalui calo, tengkulak, atau perantara yang selama ini mengambil keuntungan berlebihan.

Sistem ini bagaikan proklamasi kemerdekaan bagi petani Indonesia yang selama puluhan tahun terjerat dalam rantai distribusi yang eksploitatif dan merugikan. Dengan hanya bermodalkan KTP, petani kini dapat menebus pupuk melalui aplikasi iPubers - sebuah digitalisasi yang menghadirkan keadilan dan transparansi. Tidak ada lagi antrian panjang di agen yang seringkali kehabisan stok, tidak ada lagi markup harga yang memberatkan, dan tidak ada lagi diskriminasi berdasarkan kedekatan dengan distributor.

Data awal implementasi menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Dalam kurun waktu Februari 2025 saja, sistem baru ini berhasil melayani 688.386 transaksi untuk 599.582 petani dengan distribusi mencapai 1,181 juta ton. Tingkat kepuasan petani mencapai 94,2?rdasarkan survei independen yang dilakukan LSM pertanian.

Terobosan lain yang tidak kalah penting adalah diversifikasi sumber pasokan pupuk. Pemerintah tidak lagi bergantung pada satu atau dua produsen besar, melainkan mengembangkan jejaring supplier regional yang melibatkan koperasi dan UMKM pupuk organik. Program ini tidak hanya mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga mendorong ekonomi kerakyatan di tingkat grassroot.

Merdeka dari Oligarki Pangan

Kritik pedas tentang "oligarki pangan" yang selama ini mengakar dalam sistem perdagangan komoditas strategis mendapat respons serius dan terukur dari pemerintahan Prabowo. Temuan mengejutkan tentang 212 merek beras yang tidak memenuhi standar kualitas dengan tingkat ketidakpatuhan mencapai 85% memicu reformasi total sistem pengawasan pangan yang melibatkan multiple stakeholder.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dengan tegas dan berani menindak praktik "oplosan beras" yang selama ini merugikan konsumen. Praktik jahat ini melibatkan pencampuran beras berkualitas rendah dengan beras premium, penjualan beras dengan kadar air berlebihan, dan manipulasi label yang menyesatkan konsumen. Tindakan tegas ini bukan sekadar penegakan hukum, melainkan perjuangan kemerdekaan generasi baru - membebaskan rakyat dari praktik perdagangan yang eksploitatif dan tidak bermoral.

Operasi pemberantasan kartel pangan ini melibatkan sinergi antara Kementerian Pertanian, KPPU, Kejaksaan, dan Polri. Dalam kurun 6 bulan, telah dilakukan 147 operasi pasar mendadak di 25 provinsi, mengungkap berbagai praktik curang yang selama ini merugikan petani dan konsumen. Denda yang dijatuhkan mencapai Rp 45 miliar, sementara 23 pelaku utama kartel ditangkap dan diproses hukum.

Yang tidak kalah penting adalah pembentukan sistem monitoring harga real-time yang melibatkan teknologi artificial intelligence dan big data. Sistem ini mampu mendeteksi anomali harga dan pola perdagangan yang mencurigakan dalam hitungan jam, memungkinkan intervensi cepat sebelum manipulasi pasar merugikan rakyat luas.

Program edukasi konsumen juga menjadi bagian integral dari pemberantasan oligarki pangan. Melalui kampanye nasional "Cerdas Memilih Pangan", masyarakat diedukasi untuk mengenali ciri-ciri produk pangan berkualitas dan memahami hak-hak mereka sebagai konsumen. Program ini berhasil meningkatkan awareness masyarakat dari 34% menjadi 78?lam tempo 6 bulan.

Tantangan yang Masih Tersisa: Realistis dalam Optimisme

Meski pencapaian dalam 7 bulan terakhir sangat menggembirakan dan patut dibanggakan, perjalanan menuju swasembada pangan sejati masih menghadapi sejumlah tantangan serius yang memerlukan perhatian berkelanjutan. Kejujuran dalam mengakui tantangan ini justru menunjukkan kematangan dan kredibilitas pemerintah dalam mengelola ekspektasi publik.

Tantangan utama yang masih harus diselesaikan adalah persistensi harga beras yang pada Juli 2025 masih 14,22% di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 12.500 per kg. Meski tren menunjukkan penurunan gradual dari puncak krisis Februari 2024, proses normalisasi harga membutuhkan waktu dan konsistensi kebijakan yang tidak boleh terputus.

Disparitas regional juga masih menjadi pekerjaan rumah yang kompleks. Data menunjukkan 233 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga pada akhir Juli, meski angka ini sudah menurun menjadi 191 kabupaten pada awal Agustus. Provinsi-provinsi di Jawa sebagai sentra produksi utama justru masih menunjukkan harga di atas HET: Jawa Timur (5,71%), Jawa Tengah (7,86%), dan Jawa Barat (8,54%). Paradoks ini menunjukkan bahwa proximity dengan pusat produksi tidak otomatis menjamin harga yang lebih murah.

Infrastruktur pascapanen yang masih terbatas menjadi bottleneck serius dalam rantai nilai pangan. Kehilangan hasil panen (post-harvest loss) masih mencapai 10-15% akibat keterbatasan fasilitas pengeringan, penyimpanan, dan pengolahan. Di daerah-daerah terpencil, petani masih terpaksa menjual gabah basah dengan harga murah karena tidak memiliki akses ke fasilitas pengeringan yang memadai.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved